Menjadi Bangsa Beradab, Panggilan Sejarah dan Falsafah

Menjadi Bangsa Beradab, Panggilan Sejarah dan Falsafah

MAKLUMAT — Di sepanjang perjalanan peradaban manusia, sejarah mencatat bahwa yang bertahan bukanlah bangsa yang paling kuat, bukan pula yang paling kaya, melainkan bangsa yang mampu menjaga adab, kebijaksanaan, dan nilai kemanusiaan di tengah perubahan zaman. Adab adalah inti dari peradaban. Ia bukan sekadar tata krama sosial, tetapi fondasi moral yang menentukan apakah suatu bangsa akan dihormati, diingat, atau justru dilupakan oleh sejarah.

Prof. Dr. H. Triyo Supriyatno, M.Ag.
Prof. Dr. H. Triyo Supriyatno, M.Ag.

Dalam khazanah pemikiran klasik dunia, istilah civilization berasal dari kata Latin civitas, yang berarti komunitas masyarakat yang hidup dengan tata norma dan nilai bersama. Sedangkan dalam konteks peradaban Islam, istilah ‘umrān yang digunakan oleh Ibnu Khaldun merujuk pada sebuah tatanan kehidupan yang berkeadaban, di mana manusia tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga saling memuliakan. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang mampu menempatkan nilai-nilai luhur sebagai pedoman bertindak, bukan sekadar memperturutkan kekuasaan atau kepentingan sesaat.

Jika kita menoleh pada sejarah dunia, Yunani Kuno dikenal bukan karena kekuatan militernya, tetapi karena keunggulan adab berpikirnya. Socrates, Plato, dan Aristoteles mengajarkan etika, keadilan, dan kebijaksanaan dalam bermasyarakat. Demikian pula peradaban Tiongkok klasik dengan ajaran Konfusius yang menempatkan harmoni, penghormatan kepada orang tua, dan keseimbangan sosial sebagai nilai utama dalam tata kehidupan. Dalam peradaban Islam, Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa misi utama kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia, bukan sekadar menegakkan hukum atau memperluas wilayah kekuasaan.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Tahayul Politik

Namun sejarah juga mencatat bahwa peradaban runtuh bukan karena serangan dari luar semata, melainkan karena keretakan moral dan pudarnya nilai adab dari dalam. Romawi tumbang ketika elite politiknya mengutamakan hedonisme dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Dinasti Abbasiyah melemah saat intrik istana dan korupsi merajalela. Bahkan, peradaban modern saat ini pun dihadapkan pada ancaman yang sama: degradasi moral, budaya kebencian, dan ketidaksantunan publik yang mulai menjadi pemandangan sehari-hari.

Di tengah tantangan global ini, Indonesia sebagai bangsa dengan warisan budaya luhur sejatinya memiliki modal kuat untuk menjadi bangsa beradab. Falsafah Pancasila menempatkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial sebagai fondasi hidup berbangsa. Dalam konteks ini, Pancasila bukan sekadar teks hukum, melainkan falsafah hidup bangsa yang mengandung dimensi etika, moral, dan adab sosial.

Sayangnya, dalam praktiknya, nilai-nilai itu kerap terkikis oleh kepentingan pragmatis. Ruang publik kita dipenuhi ujaran kebencian, perdebatan tanpa etika, dan politik yang seringkali abai terhadap kemanusiaan. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana berbagi gagasan justru berubah menjadi arena perundungan dan penyebaran hoaks. Dalam situasi semacam ini, kita seakan lupa bahwa bangsa besar bukan diukur dari gedung-gedung pencakar langit atau laju ekonomi semata, tetapi dari seberapa beradab warganya dalam menyikapi perbedaan dan menyelesaikan masalah.

Dalam falsafah Jawa, dikenal istilah ngugemi adab — memegang teguh adab — yang berarti bahwa seseorang, betapapun tinggi ilmunya, kaya hartanya, atau besar jabatannya, harus tetap menjunjung nilai kesantunan, kerendahan hati, dan kebijaksanaan. Pepatah lama menyebut, ajining diri ana ing lathi, ajining rogo ana ing busono — kehormatan seseorang terletak pada ucapannya, dan harga diri terletak pada penampilannya. Filosofi semacam ini yang harus kembali kita hidupkan di tengah arus globalisasi yang kerap melunturkan identitas bangsa.

Baca Juga  Pancasila Tak Bertentangan dengan Ajaran Islam

Bangsa yang beradab tidak berarti bangsa yang serba permisif atau anti kritik. Justru, dalam tradisi peradaban besar, adab intelektual dan adab bersikap menjadi ruh dari perdebatan dan dialektika. Di majelis ilmu, perbedaan pendapat dihargai sebagai bagian dari ikhtiar mencari kebenaran, bukan alasan untuk mencaci atau menjatuhkan. Di ruang sosial, kritik terhadap kebijakan dilandasi niat baik demi perbaikan bersama, bukan demi kepentingan kelompok semata.

Kita patut belajar dari Jepang yang meskipun dihantam bom atom dan kekalahan perang, mampu bangkit bukan hanya karena teknologi, melainkan karena etos adab yang terjaga dalam masyarakatnya. Hormat kepada orang tua, disiplin, kerja keras, dan solidaritas sosial menjadi nilai yang terus diwariskan lintas generasi. Demikian pula bangsa-bangsa Skandinavia yang meletakkan etika sosial, keadilan, dan keterbukaan sebagai nilai dasar pembangunan negaranya.

Indonesia seharusnya mampu merawat adab itu, bukan sekadar membangga-banggakan masa lalu. Kita punya Mahapatih Gajah Mada yang bersumpah menjaga persatuan nusantara tanpa melupakan adab kenegaraan. Kita punya Wali Songo yang menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya, bukan paksaan kekuasaan. Sejarah kita kaya dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi rujukan dalam membangun bangsa beradab hari ini.

Maka, menjadi bangsa beradab bukan sekadar jargon di podium atau tema seremoni tahunan. Ia adalah komitmen kolektif yang harus hadir dalam tutur kata, tindakan sosial, kebijakan publik, hingga pola pikir masyarakatnya. Karena ketika adab runtuh, bangsa apa pun hanya tinggal nama dalam buku sejarah.

Baca Juga  Pancasila Menjadi Kompas Ideologis dan Etika Publik Bernegara

Karena pada akhirnya, peradaban tidak diingat dari gedungnya, atau pembangunan lainnya tapi dari budi pekerti manusianya.

*) Penulis: Triyo Supriyatno
Wakil Ketua PDM Kota Malang dan Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *