Menyikapi Pengibaran Bendera One Piece

Menyikapi Pengibaran Bendera One Piece

MAKLUMAT — Tindakan masyarakat mengibarkan bendera One Piece sebaiknya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan oleh pihak pemerintah, seperti penangkapan atau upaya pemenjaraan. Mereka yang melakukan pengibaran bendera bergambar bajak laut bukanlah ancaman bagi negara, apalagi sebagai provokasi sebagaimana dipahami oleh Menko Polkam. Pemerintah tidak perlu kebakaran jenggot, apalagi melakukan upaya hukum.

Pengibaran bendera One Piece tidak ada bedanya dengan tindakan masyarakat beberapa waktu sebelumnya, dengan menyebarkan peringatan darurat berwarna biru. Saat gambar tersebut tersebar secara serentak di berbagai media sosial, Indonesia dibuat heboh. Seolah-olah negara dalam kondisi darurat beneran, tetapi pelan-pelan gambar tersebut hilang dengan sendirinya, dan Indonesia aman-aman saja.

Pemerintah harus merespons setiap tindakan masyarakat dengan bijak. Tidak perlu panik, serta tidak perlu mengancam mereka yang melakukan hal tersebut. Bendera berwarna hitam bergambar tengkorak bajak laut tersebut sekilas memang menakutkan, tetapi seperti halnya peringatan darurat, pelan-pelan hal itu akan hilang, dan berganti dengan tema yang lain.

Alat Komunikasi

Pemerintah seyogianya melihat One Piece sebagai “bahasa” yang sedang digunakan oleh rakyat untuk berkomunikasi dengan pemerintah. Masyarakat mungkin menganggap bahwa penggunaan bahasa verbal dalam bentuk lisan dan tulisan nampaknya tidak cukup dipahami oleh pemerintah serta tidak berdampak terlalu kuat. Apalagi saat ini banyak sekali para pendengung (buzzer) yang dimanfaatkan untuk menghantam balik para pengkritik yang memanfaatkan bahasa lisan dan tulisan. Penggunaan bahasa lisan dan tulisan telah menimbulkan ketakutan tersendiri saat digunakan sebagai alat kritik terhadap pemerintah.

Baca Juga  Umumkan Sejumlah Kebijakan, Prabowo Pastikan THR Bakal Cair Maret 2025

Bendera One Piece adalah sebuah bahasa juga yang dimanfaatkan untuk “berkomunikasi” dengan penguasa. Dalam keseharian, penggunaan simbol sebagai penyampai pesan kepada penguasa lazim digunakan. Pada zaman kerajaan, jika ada rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasa, mereka bisa melakukan tindakan simbolik berupa duduk bersila dengan diam berjam-jam di depan pintu gerbang kraton, lazim disebut tapa pepe (bertapa dengan cara berjemur). Tindakan itu dilakukan tanpa henti sebelum ditemui secara langsung oleh raja.

Ada juga yang memanfaatkan bahasa verbal namun dengan secara kamuflase supaya dirasa lebih aman. Salah satu contohnya adalah penggunaan istilah Konoha untuk mengganti Indonesia. Penggunaan bahasa simbolik salah satunya karena faktor keamanan, karena penguasa dan pengikutnya dianggap sering main ancam. Dalam kasus bendera One Piece, ketika bahasa verbal gagal ditangkap maknanya oleh penguasa, maka rakyat menggunakan bahasa simbolik.

Secara umum simbol dipahami sebagai sesuatu yang menceritakan sesuatu. Freek Colombijn, seorang antropolog dari Belanda, mengemukakan bahwa simbol merupakan perwujudan dengan makna tertentu yang dilekatkan padanya. Sifat-sifat dari perwujudan tersebut berhubungan dengan pengalaman-pengalaman keseharian yang berada di luar perwujudan itu sendiri. Tengkorak dan tulang sebagaimana ujud aslinya, merupakan tulang-belulang manusia yang telah mati yang tidak memiliki daya apa-apa.

Tengkorak dan tulang menjadi menakutkan ketika diubah menjadi sebuah simbol yang identik dengan ancaman. Simbol tersebut dalam cerita-cerita klasik Barat dikaitkan dengan para bajak laut yang kejam dan suka mengintimidasi korbannya. Apakah pemerintah saat ini dipahami oleh mereka yang mengibarkan bendera One Piece sebagai pihak yang menakutkan dan suka menindas?

Baca Juga  PBNU dan Muhammadiyah di Persimpangan Raja Ampat: Mendukung atau Menolak Total Tambang di Pulau Kecil?

Mawas Diri

Pihak pemerintahlah yang memiliki kewajiban menjawab pertanyaan di atas. Tentu saja jawaban tidak perlu dengan ancaman, tetapi dengan melakukan otokritik alias mawas diri. Mereka yang tengah berkuasa, mulai dari presiden, menteri, gubernur, dan bupati hendaknya berkaca.

Melihat kepada diri sendiri, apakah selama ini keberadaannya cukup memberikan ketenangan dan mengayomi rakyat? Apakah program-program yang mereka buat benar-benar telah berbasis keadilan, alias bukan program hanya untuk pendukungnya saja?

Sampai saat ini rakyat belum sepenuhnya merasakan realisasi janji-janji kampanye yang pernah dilontarkan para politisi. Kondisi sulit justru masih terjadi di banyak tempat. Terakhir, pemerintah, dalam hal Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), malah melontarkan sebuah kebijakan yang cukup mengagetkan.

Tanah yang selama dua tahun menganggur akan diambil alih oleh negara. Bukan hanya itu, PPATK juga membuat terobosan yang menghebohkan, memblokir rekening bank yang tidak aktif selama tiga bulan berturut-turut. Kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan setelah mendapatkan kritik hebat dari masyarakat.

Dalam sebuah negara demokrasi, masyarakat tentu saja berhak mengkritisi pemerintah yang dianggap belum bisa memenuhi harapan mereka. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjawab kritik tersebut dengan tindakan nyata, membuat berbagai terobosan yang menguntungkan rakyat.

Jangan membelokkan kritik dengan balik balik menuduh bahwa rakyat tidak menghormati simbol-simbol negara, serta mengadapinya dengan instrumen hukum. Kritik harus dijawab dengan bukti nyata bahwa pemerintah memang bekerja sungguh-sungguh untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat.

Baca Juga  Terjadi 101 Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren, Ini yang Dilakukan Menag Nasaruddin Umar

*Artikel ini sudah naik cetak pada harian Jawa Pos, edisi 5 Agustus 2025.***

*) Penulis: Prof. Purnawan Basundoro

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *