MK Tolak Gugatan Mahasiswa UINSA Soal Fraksi DPR

MK Tolak Gugatan Mahasiswa UINSA Soal Fraksi DPR

MAKLUMAT Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian Pasal 170 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Para Pemohon tersebut adalah Dian Prahara Batubara dan Moch. Jian Niam Al Kamil. Keduanya adalah mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA).

Dilansir dari laman resmi MK, para Pemohon menilai penggunaan kata “fraksi” dalam materi Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 tidak mencerminkan DPR sebagai representasi rakyat secara langsung yang sudah semestinya dibawa oleh anggota saat berstatus sebagai bakal calon hingga menjadi anggota resmi DPR.

Menurut MK, dalil para Pemohon yang menyatakan kata “fraksi” dalam norma tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 jika tidak dimaknai “Pendapat Daerah Pemilihan” sebagai bentuk konkret dari mandat rakyat kepada anggota DPR dalam sistem demokrasi perwakilan, adalah tidak beralasan menurut hukum.

“Menurut Mahkamah telah ternyata norma Pasal 170 ayat (4) huruf a Undang-Undang 17/2014 tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 159/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Kamis (16/10/2025).

Baca Juga  Apresiasi Keputusan Prabowo, Putri Zulhas Usul Pengawasan Distribusi LPG 3 Kg Pakai Sistem Digital

Arsul menuturkan, jika menggunakan logika daerah pemilihan (dapil) harus diberi kesempatan bagi 84 dapil untuk menyampaikan “pendapat mini” dalam pembahasan rancangan undang-undang sesuai dengan jumlah dapil dalam pengisian anggota DPR.

Kondisi tersebut akan makin rumit karena anggota DPR dari setiap dapil tidak berasal dari satu partai politik (parpol). Artinya, dengan kerumitan tersebut pemaknaan yang dikehendaki para Pemohon potensial menimbulkan kerumitan serius dalam pembahasan rancangan undang-undang.

MK Memahami Kekhawatiran Para Pemohon

Dalam batas-batas tertentu, MK pun memahami kekhawatiran para Pemohon ihwal norma Pasal 170 ayat (4) huruf a Undang-Undang 17/2014 akan melemahkan partisipasi politik masyarakat dalam pembentukan undang-undang disebabkan norma tersebut dinilai menjadi penghalang upaya pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam penyelenggaraan sistem perwakilan.

Namun demikian, secara normatif, Pasal 96 UU 13/2022 telah mengatur hak masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam proses pembentukan undang-undang. Sebab, MK telah menyatakan pentingnya partisipasi masyarakat bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan undang-undang.

Jikalau secara faktual masih terdapat jarak (gap) antara keinginan masyarakat pada dapil dengan pembahasan suatu undang-undang, jalan memaknai kata “fraksi” pada norma Pasal 170 ayat (4) huruf a UU 17/2014 menjadi “daerah pemilihan” menjadi tidak tepat.

Selain mengacaukan norma lain dalam perihal “Pelaksanaan Wewenang dan Tugas” DPR sebagaimana diatur Bagian Kesembilan Paragraf 1 UU 17/2017, pemaknaan yang dimohonkan para Pemohon tersebut pun potensial menambah kerumitan tersendiri dalam pembahasan undang-undang.

Baca Juga  Survei Pilgub Jateng: SMRC Unggulkan Andika-Hendi, Indikator Politik Unggulkan Luthfi-Taj Yasin
Pemohon Nilai Fraksi Geser Kedaulatan Rakyat ke Partai Politik

Para Pemohon menjelaskan sudah menjadi pemahaman kolektif dalam negara demokrasi yang berlandaskan konstitusi, kekuasaan seharusnya berasal dari rakyat dan dilaksanakan untuk kepentingan rakyat. Hal demikian seperti yang telah dijamin dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.

Namun, Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 yang menyatakan “pandangan DPR dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang di tingkat pertama diberikan melalui fraksi” justru mengalihkan kekuasaan legislasi dari rakyat (melalui wakilnya) kepada partai politik (melalui fraksi).

Para Pemohon mengatakan pemberlakuan Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 dengan adanya kata “fraksi” akan menghambat pertumbuhan daerah karena rumusan kebijakan dan regulasi yang diterbitkan tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan daerah. Hal tersebut tidak akan dimungkinkan ada bilamana pendapat yang terjadi dalam dinamika penyusunan suatu kebijakan atau regulasi yang menjadi kewenangan DPR dilaksanakan dengan sistem pendapat daerah pemilihan (dapil).

Dengan terdapat pemberlakuan pendapat fraksi dalam Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3, menurut para Pemohon, dapat menimbulkan kerugian konstitusional yang bersifat potensial karena efek negatif dari model pengambilan keputusan oleh fraksi ini adalah bentuk kekaburan sikap partai dan anggota yang tidak dapat diketahui konstituennya.

Sebab, tindakan dan konsistensi anggota DPR secara moral dan politis yang didelegasikan oleh rakyat di dapilnya tidak bisa di pertanggungjawabkan, karena suara yang mereka berikan adalah representasi kolektif partai yang tercermin melalui pandangan fraksi, bukan representasi masyarakat sesuai dapilnya.

Baca Juga  Tanggapi Demo Ojol, Anggota DPR Minta Pemerintah Segera Penuhi Tuntutan

Adanya pandangan fraksi berpotensi menyebabkan rumusan undang-undang tidak sejalan dengan permasalahan lokalitas karena sebagai unsur representasi keterwakil rakyat dari suatu daerah seharusnya memahami permasalahan dari daerah yang diwakilinya. Seharusnya dilakukan penggantian kata pendapat fraksi guna mendidik pemilih untuk memilih secara rasional pada pemilu berikutnya berdasarkan kapabilitas dan pemahaman bakal calon terhadap daerah pemilihannya.

Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), dan Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pendapat Daerah Pemilihan”, sebagai bentuk konkret dari mandat rakyat kepada anggota DPR dalam sistem demokrasi perwakilan.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *