
MAKLUMAT — Rumah itu masih menyimpan aroma rindu. Di sudut kamar, boneka kecil bersandar di atas bantal yang belum sempat dirapikan. Di meja belajar, sebuah buku terbuka pada halaman terakhir yang dibaca. Di dinding, tergantung toga yang belum sempat dikenakan.
Namanya Sheila Amelia Christanti. Ia mahasiswi Fakultas Pertanian UGM. Usianya baru 21. Tapi hidupnya berhenti di jalan yang sepi, saat ia sedang mudik, pulang ke Madiun. Sheila tidak pernah tiba.
Orang tuanya menunggu di depan rumah selama berhari-hari, duduk di teras, memandangi jalanan, berharap deru motor atau mobil membawa suara Sheila pulang. Tapi waktu terus berlari, dan rindu itu mulai menua menjadi gelisah.
Pada 25 Maret 2025, ia berpamitan untuk pulang ke kampung halamannya di Madiun. Ia ingin menghabiskan waktu bersama keluarga setelah masa kuliah yang padat. Tak ada yang menyangka, itu adalah perjalanannya yang terakhir.
Tiga hari setelah keberangkatannya, keluarga mulai gelisah. Tak ada kabar, tak ada pesan. Ponsel Sheila tak bisa dihubungi. Mereka segera melapor ke pihak kampus dan kepolisian. Rasa cemas berubah menjadi harap, lalu pelan-pelan menjadi nestapa.
Setiap harinya menjadi siksaan, terlebih bagi sang ibu yang terus menanti kabar sambil duduk di depan rumah, menatap jalan raya seolah berharap Sheila muncul dari kejauhan.
Pihak UGM tidak tinggal diam. Dukungan mengalir dari fakultas, teman-teman, dan relawan. Jejak digital ditelusuri, petunjuk dikumpulkan, pencarian diperluas. Tapi hari berganti, dan Sheila tetap tak ditemukan.
Pada Minggu dini hari, 13 April 2025, Sheila ditemukan telah tiada. Tubuhnya ditemukan tak jauh dari jalur yang menghubungkan Yogyakarta dan Madiun, diduga menjadi korban kecelakaan tunggal. Tidak ada kendaraan lain yang terlibat. Hanya dirinya, kendaraan, dan takdir yang entah bagaimana membawa Sheila pergi terlalu cepat.
Ia dimakamkan hari itu juga, pukul 02.00 dini hari. Dalam suasana duka yang mendalam, ratusan pelayat hadir, termasuk teman-teman kampus yang datang jauh-jauh dari Yogyakarta untuk mengucapkan selamat jalan kepada sahabat mereka.
Ir. Jaka Widada, M.P., Ph.D, Dekan Fakultas Pertanian UGM, tak mampu menyembunyikan kesedihan. “Kami kehilangan seorang mahasiswi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga sangat bersemangat dan memiliki jiwa sosial tinggi. Kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga. Semoga Almarhumah Sheila mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Swt.”
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu selama proses pencarian. “Bantuan dan empati yang mengalir menjadi bukti bahwa Sheila adalah pribadi yang dicintai banyak orang,” ujar Jaka dilansir dari laman UGM.
Sheila bukan hanya cerita duka. Ia adalah representasi dari ribuan mahasiswa perantauan yang berjuang di kota orang, yang menyimpan rindu namun tetap tegar. Ia adalah simbol dari semangat muda yang ingin kembali ke pelukan keluarga, lewat ritual tahunan bernama mudik.
Kini, Sheila telah pulang. Bukan ke kampus, bukan pula ke rumah, tetapi ke tempat keabadian. Namun kenangan tentangnya akan terus hidup—di lorong kampus, di barisan bangku kelas, di hati sahabat-sahabatnya, dan tentu saja, di rumah kecil di Madiun yang kini terasa sepi.***