Muhammadiyah dan Politik Tak Pernah Benar-Benar Terpisah

Muhammadiyah dan Politik Tak Pernah Benar-Benar Terpisah

MAKLUMAT — Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Dr phil Ridho Al-Hamdi MA, menegaskan bahwa hubungan Muhammadiyah dengan politik memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan.

Hal itu ia sampaikan dalam acara Pelatihan Ideologi & Kepemimpinan Wilayah (PIKWIL) di Aston Sidoarjo City Hotel & Conference Center, Sabtu (1/11/2025). Kegiatan ini diselenggarakan oleh LHKP Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.

Ridho menjelaskan, sejak awal Muhammadiyah telah menegaskan posisi politiknya secara jelas dalam berbagai keputusan muktamar. Ia menyinggung Khittah Ujung Pandang 1971 yang menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak menjadi afiliasi dari partai politik atau organisasi mana pun.

“Keputusan itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah ingin menjaga jarak dari politik praktis, namun tetap memiliki perhatian terhadap isu-isu kebangsaan,” ujarnya.

Ia melanjutkan, Muktamar Surabaya 1978 mempertegas prinsip kemandirian tersebut dengan menyatakan Muhammadiyah sebagai organisasi yang independen. Dalam keputusan itu, independensi dimaknai sebagai sikap untuk tidak menjadi bagian atau memiliki ikatan kelembagaan dengan organisasi lain.

“Saat itu, Muhammadiyah memiliki otoritas otonom dan berwenang mengatur sendiri rumah tangga serta kaidah-kaidah organisasinya,” katanya.

Perkembangan berikutnya terjadi pada Khittah Denpasar 2002. Menurut Ridho, Muhammadiyah memosisikan diri sebagai kelompok kepentingan (interest group) dan kekuatan moral (moral force). Artinya, Muhammadiyah berperan dalam membangun etika dan nilai dalam kehidupan berbangsa tanpa harus terjun sebagai partai politik.

Baca Juga  Penertiban Rumah Dinas KAI: Kembalikan Fungsi Aset Negara

Namun, ia juga menyinggung amanat Muktamar ke-48 di Surakarta 2022 yang memberi perhatian baru pada bidang Hikmah dan Kebijakan Publik. Ridho menyebut, ada kebutuhan untuk mengoordinasikan proses rekrutmen kader Muhammadiyah ke lembaga-lembaga negara, baik legislatif maupun eksekutif.

“Dibutuhkan strategi rekrutmen kader agar bisa berdiaspora di berbagai posisi strategis,” jelasnya.

Selain itu, Ridho menekankan pentingnya membangun basis data diaspora kader Muhammadiyah yang tersebar di lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan. Upaya ini, menurutnya, harus diiringi dengan pembentukan forum dan jaringan kader sebagai sarana dakwah Islam berkemajuan di bidang politik kebangsaan.

“Melalui diaspora dan jejaring ini, kita ingin memastikan nilai-nilai Muhammadiyah tetap hadir dalam dinamika politik nasional,” tandas pria yang juga Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *