MAKLUMAT — Suami istri, Kang Partono dan Mbak Yu Mami, setiap subuh, maghrib, dan isya, dua sejoli ini keluar rumah salat jamaah di masjid. Keluar dari pintu yang sama. Berjalan bersama dalam jarak 50 meter. Kemudian berpisah. Kang Partono ke Masjid NU, Mbak Mami ke Masjid Muhammadiyah depan rumah saya.

Dua-duanya fanatik tak ada yang mengalah—majelis tarjih dan bahtsul masaail perlu menimba ilmu bagaimana berselisih tapi tetap rukun damai sentosa di usia pernikahan hampir 43 tahun lebih.
Keduanya merepresentasikan Muhammadiyah dan NU ortodoks. Fanatik tapi kompromistiik meski perbedaan di antara keduanya sangat banyak.
Dalam hal salat mereka tegas berpisah masjid, termasuk semua kaifiyat-nya. Dalam urusan ijtihadiyah keduanya kompromistik. Tetap “selametan” kematian: Waktunya fleksibel tidak harus pas 40 atau 100 hari, bisa lebih bisa kurang. Niat tahlilan direvisi: mendoakan dan bersedekah untuk kedua orang tua yang sudah meninggal. Redaksi tahlil diubah sedikit. Tawashul kepada para wali dihilangkan atas permintaan Mbak Mami, Kang Partono setuju dengan senang hati.
Sebagian berkatan dibagi ke tetangga dekat, famili dan handai tolan. Separuh berkatan buat anak panti Aisyiyah. Terpenting, saya bagian tausiyah setelah tahlilan selesai dibaca.
^^^^
Kang Partono muazin di masjid NU yang rajin—mbak Yu Mami aktivis Aisyiyah militan. Hidup bersahaja sebagai peternak dan peladang. Sembilan ekor sapi perah sebagai sumber hidup, di samping bertani di ladang.
Dua ekor kambing kurban setiap tahun rajin disembelih di dua masjid berbeda, di rumahnya kotak amal LAZISMU dab LAZISNU bersanding rukun. Sungguh menyenangkan.
Keduanya tak pernah saling menyesatkan membid’ahkan atau tahdzir. Berkompromi dan saling menghormati. Memulai dan mengakhiri puasa Ramadan berbeda. Makan lontong sayur bersama. Ziarah ke dua orang tua yang sama.
^^^^
Mungkin benar yang dibilang Nabi saw Bahwa setiap mukmin bergantung masa jahiliyahnya. Mungkin para penguasa, para alim, para kiai dan ustaz, yang suka bertengkar, takut kesaing masa lalunya kurang bahagia.
Kaidahnya: Ketika para alim kehilangan hikmah maka ambillah hikmah meski dari kalangan jelata—kadang umat bawah lebih cerdas dan dewasa mengelola emosinya ketimbang kiainya. Wali bisa khilaf. Nabi bisa ujub seperti Musa as diminta belajar pada Khidr as.