
MAKLUMAT – Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah menjadi momen istimewa bagi komunitas Muslim di Budapest, Hongaria. Sebagai minoritas, umat Islam di ibu kota negeri Danube ini tetap menjalankan ibadah Ramadan. Komunitas Muslim di sana aktif menyelenggarakan iftar bersama, tarawih berjamaah, dan kajian keislaman. Mereka juga merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa dengan penuh suka cita.
Keberadaan masjid-masjid komunitas yang diinisiasi oleh Muslim dari Turki dan negara-negara Islam lainnya menjadi pusat kegiatan keagamaan sekaligus tempat berkumpulnya para perantau untuk merajut kebersamaan.
Bagi banyak Muslim di Budapest, Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga ujian dalam mempertahankan identitas keislaman di negeri yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Waktu berpuasa yang panjang, mencapai sekitar 16 jam sehari, menjadi tantangan tersendiri. Namun, semangat beribadah tetap terjaga, terutama dengan adanya dukungan dari komunitas Muslim yang aktif menyelenggarakan iftar bersama, tarawih berjamaah, dan kajian keislaman.

Salah satu tempat yang menjadi pusat kegiatan Ramadan adalah Masjid Darussalam. Masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga rumah kedua bagi Muslim dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Afrika. Di sini, setiap malam selama Ramadan, ratusan jamaah berkumpul untuk berbuka puasa dan melaksanakan tarawih bersama.
Saya sendiri beberapa kali mengikuti iftar di Masjid Darussalam, karena lokasinya yang cukup dekat dengan kampus saya di Eotvos Lorand (ELTE) University. Saya juga menyaksikan banyak mahasiswa dari Iran, Tunisia, Mesir, Al Jazair, Pakistan, Turki, dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, yang mengikuti acara buka bersama dan menjadi jamaah i’tikaf di masjid tersebut.
Setiap masjid di Budapest memang punya keunikannya sendiri dalam menyelenggarakan acara buka puasa bersama. Hal ini karena tempat-tempat ibadah tersebut mencirikan asal negara komunitas negaranya masing-masing. Seperti halnya di Masjid Turki dan Masjid At-Taqwa, yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas Muslim Turki di Budapest. Kegiatan buka bersama di masjid ini menghidangkan kue atau manisan khas negara yang letak geografisnya di antara benua Asia dan Eropa tersebut, seperti Baklava, Lokum, Kunafa, dan tentu saja seporsi besar nasi dan lauk ayam. Teman saya bilang, “ini porsi benar-benar untuk mahasiswa.”
Meski demikian, masjid-masjid komunitas Muslim dari berbagai negara tersebut, selalu dibuka untuk umum. Hanya saja setiap orang yang ingin ikut berbuka bersama di masjid perlu mengisi registrasi online terlebih dahulu, karena tempat dan hidangan makanannya yang terbatas. Setelah berbuka dan shalat maghrib, jamaah melanjutkan aktifitasnya dengan shalat Isya’, mendengarkan ceramah (kadang berbahasa Arab, Turki, Inggris, dan Hungary) dan beri’tikaf di masjid hingga waktu shalat malam, sahur dan shalat Subuh berjamaah.
Setidaknya terdapat 5 masjid di Budapest, yaitu Masjid Budapest (Islamic Center of Hungary), Masjid Al-Huda, Masjid At-Taqwa, Masjid Turki, Masjid Darussalam, dan Masjid Pascal. Yang terbesar adalah Masjid Budapest, yang biasanya dikunjungi oleh banyak wisatawan Muslim yang kebetulan berkunjung ke Hungary dan ingin sekedar singgah menunaikan shalat. Dari luar, bangunan masjid ini lebih tampak seperti apartemen (flat), seperti umumnya masjid-masjid di Eropa. Masjid-masjid tersebut tidak memiliki quba, simbol bulan bintang, dan sound system di luar ruangan.
Di Budapest, keberadaan masjid-masjid komunitas berperan besar dalam menjaga identitas keislaman dan mempererat tali persaudaraan antar Muslim. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat pendidikan agama, diskusi, dan kegiatan sosial yang membantu Muslim minoritas untuk tetap merasa memiliki tempat di tengah masyarakat yang berbeda budaya dan keyakinan.
Berkat inisiatif komunitas Muslim dari Turki, Arab, dan berbagai negara Islam lainnya, Budapest kini memiliki beberapa masjid dan pusat Islam yang aktif menyelenggarakan kegiatan keagamaan sepanjang tahun. Ini memberikan kenyamanan bagi Muslim perantauan, termasuk mahasiswa internasional, untuk tetap menjalankan ibadah dan tradisi Islam dengan tenang.
Idulfitri dan Momen Kebersamaan
Saat hari raya tiba, suasana hangat kebersamaan terasa semakin kuat. Di Budapest, shalat Idulfitri digelar di beberapa masjid. Jamaah dari berbagai negara datang mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa keceriaan dan semangat kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Setelah shalat Idulfitri, tradisi silaturahmi pun berlangsung. Para perantau yang jauh dari keluarga memanfaatkan momen ini untuk saling berkunjung, berbagi hidangan khas dari berbagai negara, serta menikmati kebersamaan dalam suasana yang penuh kehangatan. Komunitas Muslim Turki sering kali mengadakan acara makan bersama dengan menyajikan hidangan khas seperti baklava dan kebab, sementara Muslim dari Indonesia dan Malaysia kerap menyuguhkan lontong, rendang, dan kue-kue khas lebaran.
Bagi saya, Idul Fitri tahun ini merupakan momen pertama yang saya rasakan di Hongaria. Suasananya jelas berbeda dibandingkan dengan ketika saya menjalaninya ibadah di Indonesia. Saya dan kebanyakan WNI lainnya menunaikan ibadah shalat Idul Fitri di halaman kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Hongaria di Jalan Varosligeti Fasor 26.
Shalat Idul Fitri di KBRI diikuti lebih dari 700 WNI, kebanyakan adalah mahasiswa dan TKI, serta sebagian kecil lainnya warga lokal yang menikah dengan orang Indonesia. Shalat dimulai pukul 09.00 pagi, dilanjut dengan khutbah Hari Raya oleh Ust. Anis Kadir Sofyan.
Pada dasarnya, mahasiswa yang sedang belajar di Budapest jarang bertemu dan mengobrol bersama. Selain karena jadwal kuliah yang padat dan tuntutan beban tugas belajar, sebagian di antara mereka juga mengisi waktu-waktu tertentu untuk mengambil kerja paruh waktu. Dengan demikian, perayaan lebaran menjadi momentum ber-silaturrahim, saling tanya kabar dan bercerita mengenai pengalaman belajar, proyek riset, hingga bertukar pikiran mengenai menulis jurnal, dan informasi mengikuti konferensi internasional. Beberapa teman yang lebih awal tinggal di Budapest juga mengadakan acara makan-makan di flatnya dengan mengundang para pelajar lainnya.
Bagi kami, lebaran bukan hanya tentang kembali ke fitrah, tetapi juga tentang mempererat ukhuwah Islamiyah di tengah kehidupan masyarakat yang individualis. Solidaritas yang terjalin di antara sesama mahasisa membuktikan bahwa meski jauh dari kampung halaman, namun persaudaraan sesama anak bangsa tetap terjalin baik.
Merayakan Idulfitri sebagai Muslim minoritas memang memiliki tantangan tersendiri, tetapi justru di sinilah nilai kebersamaan dan keimanan semakin terasa. Dengan semangat persaudaraan yang terus terjaga, Muslim di Budapest tetap bisa merayakan hari kemenangan dengan penuh kebahagiaan, meskipun berada jauh dari tanah air.
*) Penulis adalah Dosen FAI UMM; Mahasiswa Doktor di Eotvos Lorand (ELTE) University, Budapest, Hongaria