Neraka Bukan Konten: Peringatan untuk Generasi Scroll

Neraka Bukan Konten: Peringatan untuk Generasi Scroll

MAKLUMAT — Sebagai Sekretaris Pimpinan Muhammadiyah Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, saya merasa perlu menyampaikan pandangan saya atas kontroversi yang sedang mengemuka terkait video berbasis teknologi kecerdasan buatan (AI) berjudul “Hari Pertama di Neraka” dan “Hari Kedua di Neraka”.

Video ini telah menimbulkan kegaduhan di media sosial dan memantik perdebatan serius di ruang-ruang dakwah dan diskusi keislaman.

Melihat fenomena ini, saya prihatin dengan dampaknya terhadap umat Islam, terutama generasi muda. Penggambaran neraka dalam video tersebut sangat tidak tepat dan dapat menyesatkan. Neraka digambarkan dengan elemen-elemen visual yang menyerupai pengalaman sehari-hari, sehingga mengurangi kesakralan dan kekhidmatan yang seharusnya ada dalam membahas tentang akhirat.

Tangkapan layar konten hari pertama di neraka yang diproduksi menggunakan AI. Foto:IST

Sebagai pimpinan Muhammadiyah, saya sepakat dengan pernyataan MUI bahwa video ini dapat merusak akidah umat Islam. Oleh karena itu, saya mengajak warga dan jamaah untuk tidak serta merta menerima semua informasi dan hiburan dari media digital. Kami perlu meningkatkan literasi digital dan keislaman secara seimbang agar tidak terpengaruh oleh konten-konten yang tidak pantas.

Saya juga meminta kepada kreator konten untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap dampak dakwah mereka. Agama Islam adalah agama yang penuh kasih dan keadilan, tetapi juga memiliki batas-batas yang tak bisa disepelekan. Kita bisa berdakwah dengan cara yang ringan dan menyentuh, namun bukan dengan mempermainkan simbol-simbol akhirat.

Baca Juga  Indonesia - India Teken MoU, Menkomdigi: Bangun Ekosistem Digital Inklusif dan Berkelanjutan.

Dalam konteks ini, saya melihat perlunya keterlibatan ulama, ustaz, dan tokoh-tokoh ormas Islam untuk memberikan bimbingan tentang batas-batas etika dalam produksi konten berbasis AI. Jika tidak, maka ruang dakwah kita bisa dibajak oleh konten-konten yang hanya mementingkan jumlah penonton dan sensasi.

Kami di Muhammadiyah Kecamatan Kesamben menyerukan tiga hal. Pertama, meningkatkan literasi digital dan keislaman secara seimbang. Kedua, kreator konten harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab. Ketiga, otoritas yang berwenang harus melakukan peninjauan hukum terhadap konten yang berpotensi menyesatkan umat.

Saya mengajak kita semua untuk menjadikan kasus ini sebagai momentum evaluasi. Mari kita bertanya kembali: apakah kita sedang membangun peradaban Islam yang tercerahkan, atau justru menjadi bagian dari banalitas digital yang melunturkan nilai-nilai suci? Jangan sampai dalam keinginan kita untuk menjadi “relevan”, kita kehilangan makna yang hakiki. Neraka bukan ruang imajinasi. Ia adalah peringatan. Maka sikap kita seharusnya adalah takut, bukan tertawa.

Semoga Allah SWT melindungi akidah kita, membimbing generasi muda kita, dan menguatkan umat Islam di tengah arus zaman yang penuh tantangan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *