Niki Alma Bedah Ayat dan Hadis Dekolonialisasi, Tekankan Islam Itu Inklusif

Niki Alma Bedah Ayat dan Hadis Dekolonialisasi, Tekankan Islam Itu Inklusif

MAKLUMAT — Islam sejak awal telah berbicara dan menekankan soal kesetaraan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, Niki Alma Febriana Fauzi menjelaskan bahwa nilai-nilai inklusif dalam ajaran yang dibawa Nabi adalah salah satu bentuk paling dini dari pendekatan dekolonialisasi.

“Islam itu sangat menjunjung tinggi kesetaraan. Semua punya kedudukan yang sama,” ujarnya dalam forum daring bertajuk Mainstreaming GEDSI di Media: Mengembangkan Jurnalisme Inklusif yang diselenggarakan PP Aisyiyah, Rabu (6/8/2025).

Niki menjelaskan, pendekatan dekolonial merupakan upaya membongkar warisan kolonial yang masih melekat dalam cara berpikir, struktur sosial, hingga budaya masyarakat. Meskipun penjajahan secara fisik telah lama berakhir, ketimpangan dan diskriminasi masih diwariskan melalui sistem yang menempatkan sebagian kelompok sebagai pusat dan yang lain sebagai pinggiran.

Ia menambahkan bahwa ketidakadilan terhadap kelompok yang berbeda sering kali tidak disadari. Pandangan yang bias terhadap perempuan, penyandang disabilitas, kelompok adat, maupun kelompok dengan warna kulit yang berbeda, telah lama mengakar dalam sistem sosial yang bercorak kolonial.

Ketimpangan dalam memandang perbedaan telah terjadi di berbagai zaman, termasuk masa jahiliyah dan era penjajahan. Menurut Niki, pola pikir yang tidak adil semacam ini sering kali berlangsung tanpa disadari dan masih terus diwarisi hingga hari ini.

Niki kemudian menyinggung Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai bentuk pengakuan Islam terhadap kesetaraan manusia. Ia merujuk pada peristiwa Fathu Makkah, ketika Bilal bin Rabah diminta Rasulullah saw. untuk mengumandangkan azan dari atas Ka’bah. Penduduk Makkah yang belum terbiasa dengan posisi Bilal sebagai muazin, menunjukkan sikap terkejut dan merendahkan.

Baca Juga  Anies Baswedan Umumkan Pembubaran Timnas AMIN: Bukan Akhir Perjuangan

Disebutkan bahwa ada yang meremehkan Bilal dengan menyebutnya sebagai budak hitam yang mengumandangkan azan di atas Ka‘bah. Dalam riwayat lain, ada yang mengejek dengan mempertanyakan mengapa Muhammad memilih orang yang mereka sebut seperti burung gagak untuk berazan. “Burung gagak ini dipakai sebagai ungkapan yang merendahkan orang kulit hitam,” imbuh Niki.

Peristiwa itu disebut sebagai latar turunnya Q. S. Al-Hujurat ayat 13 yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, dan bahwa kemuliaan seseorang di hadapan Allah ditentukan oleh ketakwaannya.

Niki juga mengisahkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dalam suatu peristiwa, Rasulullah saw. meminta Abdullah bin Mas’ud memetik ranting pohon untuk bersiwak. Ketika Abdullah naik dan angin bertiup cukup kencang, pakaian yang ia kenakan tersingkap hingga betisnya terlihat. Para sahabat menertawakannya karena ukuran kakinya kecil dan tidak seimbang dengan tubuhnya.

Nabi lalu bertanya tentang apa yang sedang mereka tertawakan. Para sahabat menjawab, mereka menertawakan kaki kecil Abdullah bin Mas’ud itu. Rasulullah saw. pun menegur mereka, dan menyebut bahwa kedua betis Abdullah bin Mas’ud di hari kiamat nanti akan lebih berat timbangannya daripada Gunung Uhud.

Niki menilai bahwa kisah tersebut menunjukkan kepekaan Nabi terhadap persoalan stigma tubuh, sesuatu yang hingga kini masih menjadi bagian dari diskriminasi dalam struktur sosial modern. “Cerita tadi itu menjelaskan bahwa Islam telah memberikan satu perhatian pada isu-isu atau topik disabilitas,” ujarnya.

Baca Juga  Aisyiyah Terjunkan Kader di 210 TPS Pantau Pemilu Jurdil dan Inklusif

Masih banyak kisah lain yang menunjukkan bahwa manusia diperlakukan setara tanpa melihat latar belakangnya. Niki lantas menyinggung bahwa Islam menempatkan keadilan sebagai prinsip utama. Oleh karena itu, di tengah ketimpangan yang masih berlangsung, semua pihak perlu mendorong terciptanya ruang yang setara dan inklusif.

Niki menyampaikan bahwa seluruh elemen yang ada di Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk mewujudkan keadilan sosial yang inklusif dan setara. Semua lini dalam tubuh Muhammadiyah harus bergerak bersama. “Islam itu inklusif, kita harus mengamalkan ajaran-ajaran ini bersama, terlebih mengusahakan nilai-nilai itu diwujudkan di ruang-ruang publik,” tandasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *