Pajak dalam Islam: Bukan Haram, Asal Adil dan Terkelola Baik

Pajak dalam Islam: Bukan Haram, Asal Adil dan Terkelola Baik

MAKLUMAT — Dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Mukhlis Rahmanto, Lc., MA., Ph.D., menegaskan bahwa konsep pajak dalam Islam sejatinya sudah ada sejak masa Nabi Muhammad dan para khalifah. Menurutnya, tidak tepat jika pajak dianggap sebagai praktik modern yang bertentangan dengan syariat.

Mukhlis menjelaskan, sistem perpajakan pada sejarah Islam memiliki bentuk, instrumen, dan fungsi yang khas. Ia mencontohkan mekanisme seperti jizya dan ‘usyr yang dipungut secara proporsional sesuai kondisi sosial masyarakat kala itu. “Pajak bukan konsep asing dalam tradisi pemerintahan Islam,” ujarnya dalam wawancara daring, Selasa (2/12).

Ia menyoroti berkembangnya pandangan di media sosial yang menyatakan pajak hukumnya haram. Mukhlis menekankan, anggapan itu muncul dari pemahaman keliru terhadap sebuah hadis yang menyebut pemungut pajak tidak akan masuk surga.

“Hadis itu sebenarnya merujuk kepada pemungut iuran ilegal, seperti preman pasar yang meminta jatah keamanan kepada pedagang. Bukan pajak negara yang diatur melalui mekanisme syar’i dan legal seperti yang kita kenal sekarang,” jelasnya.

Mukhlis menegaskan, prinsip keadilan harus menjadi prioritas dalam sistem perpajakan modern. Ia menambahkan, kelompok rentan tidak menjadi objek pajak karena secara finansial mereka tidak memenuhi syarat sebagai wajib pajak. “Orang miskin tidak wajib pajak. Justru mereka menjadi tanggungan negara melalui berbagai subsidi. Pajak jangan dijadikan satu-satunya sumber pembiayaan negara karena bisa menimbulkan ketidakadilan,” ungkapnya.

Baca Juga  Bentuk Big Data Persyarikatan, LHKP PWM Jatim Akan Gelar Pelatihan di Malang

Dalam konteks modern, Indonesia masih sangat bergantung pada pajak sebagai sumber keuangan negara. Mukhlis menilai ketergantungan itu terlalu besar jika dibandingkan prinsip keuangan publik dalam Islam. “Dalam sejarah pemerintahan Islam, sumber fiskal tidak hanya berasal dari pajak. Ada juga zakat, wakaf, dan sumber ekonomi legal lainnya,” tambahnya.

Aspek pengawasan juga menjadi elemen krusial. Mukhlis menyinggung tradisi Islam yang menempatkan muhtasib dan lembaga hisbah untuk mengawasi kebijakan publik sekaligus menjaga moralitas administrasi negara. “Pada masa Nabi, muhtasib mengawasi mekanisme pemungutan pajak. Jika ada petugas yang menerima suap untuk mengurangi kewajiban seseorang, langsung diproses dan dihukum. Al-Qur’an menyebut tindakan itu sebagai gulul atau korupsi,” tegasnya.

Mukhlis menekankan, edukasi perpajakan bagi umat Islam juga sangat penting. Ia menyayangkan masih banyak orang yang menganggap bekerja sebagai pegawai pajak haram karena salah paham terhadap hadis.

“Umat harus memahami, pajak tidak bertentangan dengan syariat selama dipungut secara adil dan digunakan untuk kepentingan publik. Konsistensi pengelolaan yang adil dan pengawasan ketat menjadi kunci agar perpajakan benar-benar berpihak kepada rakyat,” tutupnya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *