MAKLUMAT — Perkembangan teknologi digital membawa paradoks besar bagi Indonesia. Di satu sisi, teknologi menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Namun di sisi lain, ia juga membuka celah bagi berbagai kejahatan siber—salah satunya prostitusi online yang kian mengkhawatirkan. Fenomena ini tidak lagi bisa dipandang sekadar pelanggaran hukum, melainkan telah menjelma menjadi krisis multidimensi yang mengancam generasi muda dan nilai-nilai moral bangsa.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada periode 2021–2023 mencatat, sebanyak 24.049 anak usia 10–18 tahun terlibat dalam praktik prostitusi online, dengan total nilai transaksi mencapai Rp127 miliar. Mayoritas korban adalah pelajar dan remaja dari keluarga rentan—mereka yang seharusnya mendapat perlindungan dan pendidikan, bukan menjadi objek eksploitasi seksual. Lebih memprihatinkan lagi, data Kementerian Kesehatan menunjukkan 6% kasus HIV terjadi pada usia di bawah 20 tahun.
Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun, penegakan hukum masih jauh dari optimal. Banyak laporan tidak diproses akibat keterbatasan teknologi pelacakan, penggunaan enkripsi oleh pelaku, serta stigma sosial yang membuat korban enggan melapor. Di beberapa daerah, termasuk wilayah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), terungkap modus prostitusi online yang semakin canggih melalui platform pesan instan.
Ada beberapa langkah strategis yang perlu segera ditempuh:
-
Pembaruan regulasi yang secara spesifik mendefinisikan prostitusi online agar tidak terjadi kekosongan hukum.
-
Penguatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan dan pemanfaatan teknologi digital forensik mutakhir.
-
Regulasi ketat bagi platform digital untuk memiliki sistem moderasi konten dan algoritma kepatuhan yang mampu mendeteksi serta memblokir konten eksploitasi seksual.
-
Kampanye literasi digital masif yang menjangkau orang tua dan remaja, mengingat rendahnya pemahaman digital sering menjadi pintu masuk eksploitasi.
Di luar aspek teknis dan regulasi, peran keluarga dan masyarakat adalah benteng utama moral dan perlindungan anak. Program seperti parenting literasi digital yang telah digagas sejumlah lembaga perlu diperluas melalui kerja sama sekolah, komunitas, tokoh agama, dan organisasi sosial.
Prostitusi online adalah tantangan serius dalam menjaga martabat bangsa di tengah derasnya arus digitalisasi. Jika dibiarkan, Indonesia berisiko kehilangan generasi muda sekaligus arah peradaban berkeadaban. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu melawan eksploitasi digital demi masa depan yang lebih bermartabat.
*) Artikel ini sudah naik di laman Fraksi PKS.***