MAKLUMAT – Meski tak lagi yang menjadi negara Muslim terbesar di dunia (karena kini urutan pertama diduduki oleh Pakistan), Indonesia tetap menjadi menjadi negara Muslim berpengaruh mengingat menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika.
Ironisnya, partai Islam belum pernah menjadi partai pemenang (ruling party) sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Meskipun Masyumi dianggap sebagai partai pemenang berbasis Dapil, di mana Masyumi menang di 12 dari 15 Dapil pada Pemilu 1955, hal tersebut tidak pernah lagi terulang pada pemilu-pemilu berikutnya.
Partai Islam Gagal?
Muncul sebuah pertanyaan: Mengapa partai Islam belum pernah menjadi partai pemenang pemilu di negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar seperti Indonesia? Setidaknya ada enam problematika mendasar yang dialami oleh partai Islam di Indonesia.
Pertama, partai Islam selalu gagal dalam menyelesaikan dua isu krusial publik: lemahnya ekonomi rakyat dan konflik internal partai. Belum ada konsep ekonomi Islam yang ditawarkan oleh partai Islam yang mampu menyelesaikan persoalan ekonomi rakyat.
Setiap terjadi krisis, ekonomi Islam tidak mampu memberikan solusi terbaik. Sementara konflik internal di tubuh partai Islam selalu terjadi sejak Sarekat Islam (SI Putih vs SI Merah) hingga Masyumi, Parmusi, PPP, PKB, PAN, hingga PKS dalam berbagai jenisnya.
Kedua, partai nasionalis-sekuler cenderung akomodatif terhadap agenda-agenda kaum Muslim. Partai Demokrat yang awalnya banyak didukung oleh kelompok non-Muslim, mendeklarasikan diri sebagai partai nasionalis-religius.
PDIP yang dikenal dengan partai kiri-sekuler dan banyak aktivis non-Muslim di dalamnya mendirikan Baitul Muslimin (Bamusi) sebagai organisasi sayap partai untuk mendekati kelompok Islam. Partai Golkar memiliki organisasi sayap partai yang dekat dengan kelompok Islam seperti Satkar Ulama Indonesia, Al-Hidayah, dan Majelis Dakwah Indonesia.
Gerindra juga memiliki Gerakan Muslim Indonesia Raya (Gemira). Kalaupun partai sekuler tidak memiliki organisasi sayap partai yang dekat dengan kelompok Muslim, agenda-agenda kepartaian mereka selalu akomodatif terhadap kelompok Islam, seperti Perindo yang kerap dicitrakan membantu pondok pesantren saat jelang pemilu meski ketua umumnya adalah non-Muslim.
Ketiga, elite-elite Muslim terlibat tidak hanya di partai Islam saja tetapi juga di partai-partai sekuler. Mereka menyebar. Aktivis HMI dapat dijumpai di hampir semua partai politik. Di Golkar ada Akbar Tandjung hingga Bahlil Lahadalia. Di Partai Demokrat pernah ada geng Anas Urbaningrum Cs.
Sejumlah aktivis Muhammadiyah juga ada yang di PDIP (Edy Wuryanto, Faozan Amar, Ulfah Mawardi, Sunanto), Golkar (Hajriyanto Y. Tohari, Juliatmono, Ahmad Labib), Demokrat (Nanang Samodra), Nasdem (Syiar Anggretta, Ahmad Rofiq yang kemudian pindah ke Perindo), Gerindra (Rocky Candra, Andi Rahmat Wijaya), PSI (Raja Juli Antoni, Satia Chandra, Danik Eka dkk). Begitu juga dengan persebaran aktivis NU di sejumlah partai politik, seperti Nusron Wahid di Golkar, Effendi Choirie di Nasdem, dan lain sebagainya.
Kempat, ruang untuk mewujudkan agenda Islam tidak hanya melalui partai Islam saja, tetapi juga bisa melalui gerakan civil society organizations seperti Ormas Islam dan NGO. Sistem demokrasi di Indonesia memberi ruang seluas-luasnya bagi berbagai macam organisasi Islam untuk mengembangkan agenda-agenda kaum Muslim.
Karena itu, aspirasi dan perjuangan mereka tidak hanya tergantung pada kekuatan partai Islam saja, tetapi bisa tersebar ke Muhammadiyah, NU, dan lain sebagainya. Kelompok Islam yang kadang dianggap oleh masyarakat nyeleneh seperti LDII dan Syiah pun bisa menjadi ruang bagi kelompok Muslim tertentu untuk mewujudkan kepentingan mereka.
Kelima, citra partai Islam diperburuk dengan kompetisi internal antar-elite Muslim. Dampak dari konflik di kalangan partai Islam adalah buruknya citra mereka di mata publik. Konflik yang berkepanjangan antara PKB dan PPP menjadikan umat bingung harus mengikuti kubu yang mana sehingga berdampak pada pecahnya suara umat Muslim.
Pilpres 2024 adalah contoh nyata. Hal serupa juga terjadi di internal PBB pada Pemilu 2019 saat arus bawah PBB mendukung Prabowo, elite PBB justru merapat ke Jokowi. Tindakan Yusril Ihza Mahendra ke Jokowi menyebabkan suara publik ke partainya tidak utuh bahkan banyak berkurang karena basis massa PBB cenderung ke Prabowo. Begitu juga pada Pilpres 2024.
Keenam, sebagian elite partai Islam tidak lagi memiliki kredibilitas dan kharisma karena keterlibatan mereka dalam berbagai skandal korupsi maupun moral. Ada kasus korupsi yang dialami oleh kader-kader PPP seperti Bachtiar Chamsyah, Suryadarma Ali, dan Romahurmuzi. Kasus korupsi dan etika juga pernah dialami oleh kader PKS seperti Lutfi Hassan Ishaq dan Arifinto.
Beberapa kader PKB pernah terjerat kasus korupsi: Imam Nahrowi dan Artalita Suryani. Begitu juga di PAN ada kasus korupsi yang dialami oleh Abdul Hadi Djamal dan Waode Nurhayati. Fakta-fakta ini semakin memperkuat bahwa politisi dari partai Islam tidak lagi memiliki kredibilitas baik akibat skandal kadernya.
Dari keenam masalah tersebut, masalah utama partai Islam adalah belum adanya mekanisme resolusi konflik di internal partai. Masalah ini diperkuat dengan dua masalah lain yang belum dimiliki oleh partai Islam. Belum adanya tawaran platform partai Islam tentang ekonomi keummatan/kerakyatan, sebagai solusi praktis untuk mengatasi krisis ekonomi. Juga belum adanya tokoh Islam yang kharismatik mengingat sebagian mereka terjerat korupsi maupun moral, serta konflik sesama elite yang mengakibatkan citra partai Islam semakin buruk.
Partai Islam sebagai Partai Menengah
Ada 13 kali pemilu yang terjadi sejak 1955 hingga 2024. Perolehan suara tertinggi partai Islam terjadi pada Pemilu 1955 dengan prosentase 43,93%. Meskipun suara nasional Masyumi kalah dengan PNI, jumlah kursi mereka sama di DPR RI dengan masing-masing 57 kursi. Fakta ini menunjukkan, bahwa persebaran suara Masyumi jauh lebih merata dibanding PNI.
Dari 15 Dapil pada Pemilu 1955, suara Masyumi menang di 12 Dapil sementara PNI hanya menang di tiga Dapil saja. Kemenangan PNI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTB membuat partai pimpinan Soekarno ini menang secara nasional. Namun demikian, kekuatan Masyumi sebenarnya jauh lebih unggul dibanding PNI jika diukur dengan persebaran dan pemerataan suara (electoral college), bukan total suara nasional (popular vote).
Mulai Pemilu 1971 sampai kini, partai Islam selalu menjadi partai menengah (medium parties) dan tidak pernah meraih posisi sebagai partai besar (major parties). Suara partai Islam terendah terjadi pada Pemilu 1987 yang terpusat hanya pada kekuatan PPP. Hal ini tidak terlepas dari dampak penerapan asas tunggal Pancasila oleh rezim Orde Baru. Semua organisasi harus berasaskan Pancasila termasuk PPP.
Pemilu 1987 merupakan titik terlemah kekuatan Islam di mana suara PPP hanya mampu mencapai 15,97%. Pasca-Orde Baru, meski suara gabungan partai Islam pernah berada pada 37-38% (Pemilu 1999 dan 2004), suara partai Islam merata selalu di 30an persen sejak Pemilu 2009 hingga 2024.
Ada lima partai Islam di Era Reformasi yang dianggap cukup memiliki kekuatan basis massa. PKS dan PAN termasuk partai yang meraih suara relatif stabil dari pemilu ke pemilu, tidak ada peningkatan maupun penurunan suara secara signifikan. Suaranya bergerak di antara 6-8% dengan dinamika beragam di tiap pemilu. Kedua partai ini merupakan partai yang populer di kawasan perkotaan dengan basis pemilih Muslim moderat seperti Muhammadiyah dan aktivis dakwah kampus/masjid.
PPP merupakan partai yang mengalami penurunan suara secara terus menerus dari pemilu ke pemilu. Turunnya suara PPP tidak terlepas dari akibat konflik internal yang berdampak pada terlemparnya PPP dari Senayan pada Pemilu 2024. PKB pernah meraih suara tertinggi pada Pemilu 1999, tetapi perolehan suaranya turun drastis pada Pemilu 2009 akibat konflik internal. Namun, partai ini kembali meningkat sebagai bagian dari keberhasilannya dalam mensolidkan suara NU.
Hal yang sangat mengenaskan adalah eksistensi PBB yang meski pernah memiliki kursi di DPR pada 1999 dan 2004. Partai yang selalu mengklaim sebagai penerus perjuangan Masyumi ini tidak lagi berhasil memiliki kursi di DPR sejak 2009 hingga 2024 karena ketidakmampuan untuk lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Selain lima partai tersebut, partai Islam selalu datang dan pergi silih berganti di setiap pemilu karena ketidakmampuan mereka untuk meraih minimal ambang batas parlemen. Sementara itu, di tingkat lokal di Aceh, partai Islam paling kuat adalah Partai Aceh yang menguasai DPRA Provinsi sejak 2009 hingga kini meski suaranya juga mengalami penurunan dari pemilu ke pemilu.
Mengapa hanya hasil pemilu saja yang dijadikan ukuran kekuatan partai politik? Pemilu adalah arena partai untuk mempertahankan kekuatan organisasinya di hadapan pemilih. Kinerja partai pada lima tahun sebelumnya dievaluasi oleh rakyat pada pemilu berikutnya, apakah partai memperjuangkan aspirasi mereka atau sekadar retorika.
Hasil pemilu akan menunjukkan kinerja yang telah dilakukan oleh partai. Jika partai benar-benar bekerja untuk rakyat, maka hubungan timbal-balik pun terjadi: rakyat memilih kembali partai tersebut. Sebaliknya, jika partai tidak pernah merawat basis massanya, mereka akan ditinggal dan pemilih beralih pada partai yang lain.
Islam Politik Berjaya?
Islam politik adalah jenis lain dari varian Islam yang selalu menjadi perdebatan. Selain Islam politik, ada juga Islam kultural (yang membudaya). Dalam konsep pemikiran Islam, ada Islam progresif, Islam liberal, Islam radikal, Islam fundamental, dan segala jenis kata sifat lainnya yang melekat dengan Islam sebagai sebuah subyek yang seksis.
Islam politik dapat dipahami sebagai Islam yang memiliki nuansa politik, di mana Islam dipahami sebagai sebuah sistem paripurna yang mengatur seluruh kehidupan termasuk urusan politik dan pemerintahan. Karena itu, Islam politik adalah dimensi Islam pada aspek politik yang dipahami sebagai ruang untuk mengkaji isu yang terkait dengan kekuasaan, negara, pemerintahan, termasuk di dalamnya politik kepartaian dan kepemiluan. Sederhananya, Islam politik adalah gagasan Islam tentang politik yang belum melembaga.
Sementara itu, partai Islam merupakan perwujudan Islam politik dalam bentuk lembaga yang terstruktur berupa organisasi partai politik yang menawarkan nilai-nilai dan/atau simbol Islam dalam setiap gerak langkah perjuangannya. Partai Islam menjadi salah satu alat perjuangan bagi kaum Muslim dalam bernegara melalui sistem demokrasi.
Partai Islam dan partai-partai lainnya bertarung melalui pemilu untuk meraih posisi/jabatan di berbagai lembaga negara. Dengan demikian, jika Islam politik adalah gagasan besar Islam dalam aspek politik, partai Islam adalah organisasi politik yang memperjuangkan ideologi dan nilai-nilai keislaman (baik secara simbolik maupun nilai-nilai universal) untuk meraih kekuasaan tersebut.
Meskipun partai Islam belum pernah menjadi partai pemenang di Indonesia, bukan berarti Islam politik gagal. Justru yang terjadi sebaliknya, Islam politik sebenarnya justru berjaya/menang karena Islam politik mampu masuk ke semua partai politik. Artinya, apapun ideologi partai politik di Indonesia, mereka membutuhkan Islam sebagai corak/warna partai untuk meraih simpati kaum Muslim yang memang menjadi mayoritas dengan segara varian keyakinannya.
Selain Islam politik berhasil masuk ke semua agenda partai politik, sistem demokrasi yang datang dari konsep Barat juga memiliki kemampuan untuk melakukan “normalisasi” Islam dari garis ekstrim ke garis moderat sehingga ada titik temu antara Islam dan demokrasi yang selama ini selalu dihakimi oleh Ellie Kedourie, Samuel P. Huntington, Bernard Lewis, Francis Fukuyama, dan kelompoknya sebagai dua ciptaan yang tidak bisa dikerjasamakan.
Kajian yang dilakukan oleh Bubalo, Gealy, & Mason (2012) dan Vedi R. Hadiz (2011) terhadap Partai AKP di Turki, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan PKS di Indonesia membuktikan keberhasilan sistem demokrasi yang telah membuat kelompok Islamis di negara-negara Islam menjadi pejuang demokrat sejati.
Jika pertanyaannya diganti, apakah Islam politik gagal di Indonesia? Jawabannya tentu tidak. Islam politik dalam pertarungan politik kekuasaan (politik kepartaian dan kepemiluan) justru mengalami keberhasilan yang luar biasa karena mampu menembus alam pikir para politisi dan struktur organisasi partai sehingga Islam dan kaum Muslim menjadi sebuah keharusan yang dibutuhkan setiap partai politik. Hampir semua partai politik memiliki organisasi sayap partai yang berfungsi untuk mendekati pemilih Muslim.
Sejumlah partai mungkin ada yang masih sembunyi-sembunyi mendekati kaum Muslim. Namun, tak sedikit dari mereka yang sudah terang-terangan mendeklarasikan diri dekat ke komunitas Muslim tertentu. Mereka bersilaturahmi ke tokoh-tokoh dan ulama Muslim.
Setiap menjelang Pemilu atau Pilkada, para calon membuat citra untuk dekat dengan para tokoh Islam dan pemilih Muslim. Bahkan ada politisi non-Muslim yang secara terbuka memakai busana Muslim untuk mengucapkan selamat hari raya Islam serta tak malu berkunjung ke pesantren agar mendapatkan citra bahwa mereka dekat dengan Muslim.
Meski tentu Islam dan kaum Muslim hanya dikooptasi oleh para politisi untuk kepentingan pragmatis mereka, Islam politik pada kenyataannya telah menjadi bahan pokok yang dibutuhkan oleh politik kepartaian dan kepemiluan. Dengan kata lain: tanpa Islam, para politisi belum yakin bisa menang, apapun agama mereka.
Setelah mampu mengkooptasi Islam dan kaum Muslim, mereka seakan semakin yakin dan mampu memenangkan pertarungan politik kekuasaan. Di sinilah elite dan umat Muslim harus memiliki kepiawaian politik untuk tidak mudah tertipu oleh para politisi. Analisa lebih tajam tentang dinamika partai Islam ini pernah penulis ulas dalam buku berjudul “Memenangkan Partai Islam: Desain Kelembagaan untuk Kemenangan Pemilu” (UMY Press, 2023).
Meski partai Islam gagal dalam percaturan politik kepemiluan yang diukur dengan suara (kuantitas), bukan berarti Islam gagal secara keseluruhan. Situasi yang terjadi saat ini adalah Islam politik meraih kejayaan.
Jika partai Islam adalah simbol politik praktis, Islam politik adalah simbol gagasan. Meski ia lemah dalam praktik, ia masih aktif dalam gagasan. Gagasan tetap hidup meski praktiknya sudah terpuruk. Dengan kata lain, kemenangan gagasan perlu dicarikan jalan lain dalam praktiknya. Dan itu sedang dijalankan oleh Islam politik.
Ridho Al-Hamdi, penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta