MAKLUMAT — Kejahatan adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat dihukum oleh negara. Kejahatan dapat berupa tindakan yang merugikan orang lain, masyarakat, atau negara, dan dapat memiliki konsekuensi hukum yang serius. Meliputi kejahatan terhadap orang terhadap harta benda terhadap lingkungan hidup dan negara.
Ada tren kuat bahwa dalam perkembangan peradaban, kejahatan menjadi semakin ‘complicated dan manipulatif‘, meskipun kejahatan fisik ‘tradisional’ juga tetap ada.
Peningkatan kompleksitasnya makin terakselerasi karena peran teknologi, seperti kejahatan siber (hacking, ransomware, penipuan online canggih, pencurian data besar-besaran), pencucian uang melalui cryptocurrency dan jaringan keuangan global yang rumit, kejahatan pasar modal (insider trading algorithmic, manipulasi pasar), atau bahkan penggunaan AI untuk deepfake dan penipuan, semuanya membutuhkan keahlian teknis tinggi dan struktur operasi yang kompleks.
Di era globalisasi, jaringan kejahatan transnasional (narkoba, perdagangan manusia, pencucian uang) melibatkan banyak pihak di berbagai yurisdiksi dengan hukum berbeda, membuat penyelidikan dan penuntutan juga sangat rumit.
Model kejahatan tanpa kekerasan fisik, yaitu kejahatan kerah putih bukan saja makin canggih tetapi juga mempunyai magnitude yang besar dan luas, seperti penipuan akuntansi skala besar, korupsi yang terselubung dalam kontrak kompleks miliaran dollar, penyalahgunaan produk keuangan derivatif (portfolio investasi), atau eksploitasi celah hukum membutuhkan pemahaman mendalam tentang sistem keuangan, hukum, dan bisnis, termasuk hukum ketatanegaraan (ketika korupsi-manipulasi melibatkan ‘peran tidak langsung’ lembaga kenegaraan).
Peningkatan sifat manipulatif makin mewarnai kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang lebih terdidik dan lebih memahami apa yang dianggap jahat secara sosial dan hukum. Daripada melakukan kekerasan langsung, mereka beralih ke metode:
- Mengeksploitasi kepercayaan, seperti penipuan investasi (Ponzi/ Pyramid scheme) yang meyakinkan, penipuan romance online (catfishing), phishing yang sangat personal (spear phishing), atau skema MLM yang dirancang untuk terlihat sah.
- Mengeksploitasi celah hukum dan etik, menggunakan pengetahuan hukum untuk merancang skema yang berada di “area abu-abu” atau sulit dibuktikan sebagai kejahatan (misal agresive tax avoidance yang hampir ilegal, praktik bisnis predatoris yang merugikan konsumen namun teknis legal dll).
- Memanipulasi informasi dan persepsi. Penyebaran disinformasi/ atau misinformasi untuk memanipulasi pasar saham, reputasi orang , pesaing, atau bahkan hasil pemilu. Deepfake adalah alat manipulasi yang sangat kuat.
- Memanfaatkan social engineering canggih, dengan memanipulasi psikologi korban (rasa takut, keserakahan, kewajiban, rasa ingin membantu) menjadi senjata utama dalam banyak kejahatan siber dan penipuan.
Di mana Pendidikan?
Kalau pendidikan dimaksudkan untuk membangun, intelektualitas, kecerdasan, dan moral-etik, maka ketika kejahatan makin meluas dan canggih, maka pendidikan secara terang-terangan mengalami paradoks yang dalam.
Pendidikan itu seperti pisau bermata dua, satu sisi meningkatkan pemahaman tentang logika, pengetahuan, norma dan hukum, namun bagi mereka yang memilih ‘jalan kejahatan’, pendidikan justru memberikan alat untuk melakukan kejahatan yang lebih canggih. Pengetahuan teknis (IT, keuangan, kimia), pengetahuan hukum (untuk menghindari jerat hukum), pengetahuan psikologi (untuk memanipulasi korban), merupakan pengetahuan yang ternyata di kehidupan modern yang penuh persaingan brutal, kapitalistis ekstrim dan hedonis norak, menjadi instrumen institualisasi ke dalam peradaban.
Kemampuan untuk merasionalisasi memungkinkan orang terdidik lebih pandai ‘membenarkan’ tindakan jahat mereka (misal “ini bukan benar-benar mencuri”, “semua orang melakukannya”, “korbannya kaya/bisa menanggungnya”, “saya hanya eksploitasi sistem”). Kesalehan dan etika yang gencar didalam agama dan kepercayaan, disalahtafsirkan dalam rasionalitas modern. Bahkan dalam banyak hal kehidupan sekuler makin menguat, semacam bentuk trend peradaban yang ‘fashionable’.
Pendidikan memang tidak otomatis menghasilkan moralitas yang tinggi, tetapi psikopati atau sifat antisosial justru dapat ditemukan di semua tingkat pendidikan. Orang terdidik dengan kecenderungan ini justru lebih berbahaya karena kemampuannya untuk merancang dan menyamarkan kejahatan, baik secara individual maupun kelompok ‘konspiratif’ di berbagai kelas sosial maupun kekuasaan.
Perlawanan terhadap kejahatan modern juga makin berkembang. Para ulama, tokoh agama dan tokoh masyarakat makin intensif memberikan nasihat, dorongan dan pengawasan. Penegak hukum, regulator, perusahaan keamanan siber, dan peneliti keamanan juga terus berkembang mengantisipasi kejahatan modern. Teknik investigasi digital, analisis data besar (big data), kecerdasan buatan untuk deteksi penipuan, dan kerja sama internasional juga semakin canggih untuk melawan kejahatan yang rumit ini. Perang kebaikan melawan kejahatan terus berlangsung.
Motif Dasar Tetap Sama
Di balik semua kompleksitas dan manipulasi, motif dasar kejahatan seringkali tetap primitif yaitu: keserakahan, keinginan atau ambisi kekuasaan, balas dendam, atau kebutuhan untuk bertahan hidup. Hanya cara-nya saja yang berevolusi.
Kecenderungan kedepan arah kejahatan yang lebih kompleks dan manipulatif sangat mungkin terus berlanjut, bahkan meningkat, karena:
- Perkembangan teknologi yang eksponensial. AI, bioteknologi, metaverse, dan teknologi baru lainnya akan membuka celah dan metode kejahatan yang saat ini belum terbayangkan.
- Ketergantungan masyarakat pada data dan sistem digital menyebabkn semakin banyak aspek kehidupan yang terdigitalisasi, maka semakin besar permukaan serangan (attack surface) makin terbuka luas bagi penjahat.
Kompleksitas Manusia Modern
Dalam kehidupan modern manusia mengalami perubahan karakter yang siginifikan, tekanan psikososial peradaban yang berat , dan pergeseran nilai spiritual yang makin kritis. Pendidikan karakter berhadapan dengan realitas kompleks membangun sebuah paradoks sbb:
Pertama, niat vs efektivitas. Dimana pendidikan karakter diniatkan untuk membangun moralitas (integritas, empati, tanggung jawab), namun kompetisi ekstrim mengakibatkan pendidikan sering terjebak dalam logika pasar (nilai akademis lebih utama daripada pembentukan karakter) demi masa depan ekonomi.
Kedua, pendidikan karakter diajarkan secara abstrak, sementara dunia nyata penuh dengan dilema kompleks dan insentif untuk berkompromi, sehingga menghadapi moralitas situasional. Pengetahuan moral tidak sama dengan tindakan moral saat dihadapkan pada tekanan survival atau prestise.
Ketiga, sekolah hanya salah satu pengaruh. Lingkungan keluarga, media digital, dan budaya populer sering menyampaikan nilai kontradiktif (konsumerisme dan individualisme ekstrim) lebih intensif mempengaruhi daripada yang diterima di sekolah.
Tekanan psikososial mewarnai peradaban modern dan menjadi ‘katalis patologi’. Sumber tekanan berasal dari akselerasi perubahan dan makin besarnya ketidakpastian kehidupan. Perubahan terlalu cepat (teknologi, pekerjaan, norma sosial) memicu kecemasan eksistensial dan rasa tak tertinggal.
Terjadi atomisasi sosial, dimana komunitas tradisional melemah, individualisme meningkat menimbulkan semacam isolasi sosial dan kurangnya safety net emosional.
Ketimpangan-kesadaran modern, makin tumbuh meski kemiskinan absolut mungkin turun, tetapi ketimpangan dan kesadaran akan ketimpangan (melalui media) memicu rasa ketidakadilan dan frustrasi.
Kehidupan modern makin overstimulasi dan overload informasi, pikiran dibombardir tuntutan dan kontradiksi sehingga menyebabkan kelelahan mental, dan sulit berpikir jernih.
Dampak pada patologi dan kejahatan meningkat karena tekanan kronis menjadi faktor risiko depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, psikosis, dimana kondisi ini dapat menurunkan kontrol impuls dan empati.
Dalam situasi yang demikian kejahatan lebih dianggap sebagai pilihan ‘solusi palsu’. Misal, untuk bertahan hidup terpaksa mencuri, menipu.
Bisa juga berbentuk pembalasan dan dorongan penguasaan karena lama mengalami kekerasan penghinaan dan pengabaian Pelarian berupa penyalahgunaan zat, mendorong kejahatan terorganisir disalahpahami sebagai “komunitas” pengganti.
Kehidupan modern juga mendorong sekularisasi dan kemunduran spiritualitas. Mereka kehilangan “makna dan kebutuhan transenden”?
Kejahatan yang makin canggih, manipulatif dan menindas bisa memperburuk ketidakpercayaan sosial dan tekanan psikososial, sehingga makin menguatkan siklus negatif.
Memutus Siklus
Untuk memutus siklus kejahatan dan patologi kehidupan modern, perlu dipikirkan:
a. Reorientasi pendidikan dari paradigma human capital ke human development. Integrasikan keterampilan hidup (resilience, literasi emosi, critical thinking ethic) secara mendalam dalam karakter peserta didik, bukan sekadar kurikulum tambahan.
b. Kebijakan berbasis kesejahteraan psikososial, meliputi:
- Akses universal kesehatan mental.
- Penguatan komunitas lokal dan social support.
- Kebijakan ekonomi yang mengurangi ketimpangan ekstrim dan ketidakpastian hidup (jaring pengaman kuat).
c. Rekonstruksi makna (bukan dogma):
- Diskursus publik tentang etika kewargaan, tanggung jawab ekologis, dan hidup bermakna di luar konsumsi.
- Dukungan pada eksplorasi spiritualitas personal yang inklusif dan kritis.
d. Desain teknologi dan sistem yang beretika dimana teknologi dan kebijakan harus dirancang untuk mengurangi tekanan, mempromosikan koneksi manusiawi, dan mempersulit eksploitasi atau manipulasi (bukan sebaliknya).
e. Penegakan hukum progresif perlu fokus pada kejahatan korporasi kerah putih yang kompleks dan pencegahan berbasis analisis tekanan sosial (restorative justice untuk kejahatan kecil).
Akhirnya kita sampai pada ujung pembelajaran literatif tentang ‘patologi peradaban’ ini dengan merenungkan: “Kejahatan manipulatif tumbuh subur di tanah yang disiram skeptisisme dan dipupuk apatisme. Hanya dengan menyuburkan kepekaan bersama, kita bisa mencabutnya sampai akar.” Semoga.