MAKLUMAT – Fenomena mutakhir yang terjadi di tubuh Partai Golkar menjadi penanda semakin buruknya modernisasi dan pelembagaan partai politik di Indonesia. Golkar yang selama era Reformasi ini dikenal sebagai salah satu partai politik yang cukup solid dan lihai mengelola konflik internal mereka, kini partai berlambang pohon beringin itu tumbang akibat pembegalan yang dilakukan aktivisnya sendiri melalui intervensi kekuasaan.
Pengunduran diri Airlangga Hartarto secara tiba-tiba dan terpilihnya Bahlil Lahadalia secara aklamasi dalam Munas XI Golkar pada 20 Agustus 2024 menjadi jelas bahwa partai warisan Orde Baru ini sedang dibegal oleh elite yang lebih berkuasa. Mekanisme demokratisasi di tubuh Golkar direkayasa seolah agar sesuai AD/ART. Padahal, substansinya jauh dari itu semua.
Pembegalan yang terjadi di tubuh Golkar sebenarnya juga terjadi di tubuh partai-partai lain. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi contoh lain. Kaesang Pangarep yang tidak pernah punya pengalaman berpolitik praktis, tiba-tiba saja menjadi ketua umum PSI setelah beberapa hari menjadi anggota resmi partai tersebut. Bukan pendiri partai, tidak ada proses kaderisasi, apalagi karir yang berjenjang. Hanya karena PSI haus kekuasaan agar lolos ke Senayan, harga diri pun rela digadaikan.
Hal serupa juga pernah terjadi di tubuh Partai Demokrat dan Partai Hanura. Situasi memanas di tubuh Demokrat terjadi saat Anas Urbaningrum terpilih sebagai ketum Demokrat pada Kongres 2010 yang saat itu juga menjadi partai pemenang Pemilu 2009. Hubungan yang kurang baik antara Anas dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakibatkan Anas terseret kasus korupsi pada tahun 2013, sehingga posisi ketum diambil alih oleh SBY hingga turun ke anak sulungnya. Situasi ini mengakibatkan percobaan pembegalan partai yang dilakukan oleh Moeldoko Cs meskipun gagal. Moeldoko saat itu representasi istana sehingga muncul kesan istana ingin mengambil alih Demokrat yang saat itu kritis ke rezim.
Sementara di tubuh Partai Hanura, situasi pembegalan serupa juga terjadi ketika konflik internal terjadi antara kubu Wiranto dan kubu Osman Sapta Odang (OSO). Kubu OSO pun berhasil mengambil alih partai dan melakukan reshuffle besar-besaran sehingga banyak kader Hanura yang hengkang akibat pemecatan. Dampaknya Hanura tidak lolos ke Senayan pada Pemilu 2019. Sementara sura Demokrat merosot dramatis secara berturut-turut pada Pemilu 2014 maupun 2019.
Empat contoh pembegalan partai politik tersebut cukuplah menjadi bukti matinya proses pendemokratisasian di internal partai politik (intra-party democracy). Padahal ini yang menjadi ruh dari sebuah partai politik. Sebelum partai mendemokratisasikan sebuah negara, seharusnya mereka mampu mendemokratisasikan tubuhnya terlebih dahulu. Jika mereka tidak berhasil menyehatkan diri mereka, bagaimana mereka mampu menyehatkan republik ini.
Partai Dilemahkan dan Saling Sandera
Partai politik selama era Reformasi menjadi aktor utama di panggung demokrasi elektoral. Di tengah kemunduran demokrasi dengan berbagai masalah dalam proses pemilu, kondisi partai politik juga semakin memburuk, saling menyandera, dan dilemahkan. Dengan empat indikator teori Randall dan Svåsand (2002), peta kondisi mutakhir partai politik di Indonesia dapat dijelaskan di sini.
Pertama, masih buruknya sistem keorganisasian. Hampir mayoritas partai politik mengalami gejala yang sama: ketergantungan pada elite tertentu dalam proses pengambilan keputusan internal partai. Mekanisme organisasi tidak berlaku bahkan dikesampingkan oleh penguasa partai. Dalam penyelesaian konflik internal partai, tidak ada satu partai pun yang bisa dijadikan contoh.
Sementara kaderisasi internal partai juga tidak berjalan efektif lantaran para elite partai mengambil jalan pintas demi mengejar syarat minimal ambang batas parlemen. Penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka sejak 2009-2024 menjadikan partai bersikap pragmatis dengan memilih caleg/cakada dengan popularitas tinggi daripada kader ideologis yang tidak populer.
Kedua, pudarnya ideologi. Sejauh mana relasi yang terjadi antara partai dan organisasi sipil (aktor dan pendukung)? Sejauh mana partai meyakinkan ideologi dan platform partai ke anggota, pendukung, dan masyarakat? Meskipun relasi antara partai politik dan masyarakat sipil masih tetap terbangun selama era Reformasi, tetapi kekuatan relasi tersebut tidak sedahsyat era Pemilu 1955 maupun Pemilu 1971.
Keempat, kegagalan strategi partai memenuhi aspirasi rakyat berupa kebijakan (reifikasi). UU Omnibus Law Cipta Kerja dan Kesehatan, RUU Haluan Ideologi Pancasila, pelemahan KPK, ambisi amandemen UUD 1945, perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, ketergesa-gesaan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) serta upaya DPR melawan keputusan MK dengan melakukan revisi UU Pilkada adalah sederet bukti gagalnya partai politik akibat tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Belum lagi fakta buruknya praktik kebebasan sipil akibat dikebiri oleh rezim yang berkuasa. Sejumlah produk hukum (UU ITE dan KUHP) seringkali dijadikan alat penguasa untuk memukul rakyat yang kritis. Wajar saja jika masyarakat kecewa terhadap partai politik.
Keempat, lemahnya independensi. Independensi/kemandirian partai diukur dengan (1) independensi partai dari pemimpin yang kuat dan (2) independensi partai dari kekuatan pemilik modal dan oligarki. Publik hampir sulit membedakan antara PDIP dan Megawati, Partai Demokrat dan SBY, Gerindra dan Prabowo, Nasdem dan Surya Paloh, dan seterusnya. Semua keputusan politik hampir selalu tergantung pada elite kuat tersebut. Awal mula menjamurnya otoritarianisme justru berasal dari internal partai. Partai juga masih belum bisa terbebas dari kekuatan pemilik modal dan oligarki. Akibatnya, anggota parlemen lebih ramah kepada konglomerat daripada aspirasi rakyat.
Situasi pembegalan partai politik ini semakin memperburuk proses modernisasi maupun pelembagaan di tubuh partai politik Indonesia saat ini. Alhasil, terjadi saling sandera dan saling membegal antar-elite partai. Saling mengunci satu sama lain. Presiden sewenang-wenang membalikkan aturan demi ambisi jangka pendeknya di ujung masa jabatannya. Partai pun bungkam. Elite partai membisu, membebek pada “Sang Raja Pinokio”. Konglomerat melihat situasi sambil berjudi di semua koalisi. Tersisa kekuatan masyarakat sipil meski sebagian sudah dipangku.
Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA, penulisan adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Wakil Dekan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta