MAKLUMAT – Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah, Gatot Supangkat, angkat bicara merespon rencana pemerintah yang bakal menyulap 20 juta hektare hutan menjadi lahan pangan dan energi.
Gatot mempertanyakan alasan pemerintah untuk mengubah hutan, yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Padahal mestinya ada upaya-upaya atau langkah-langkah lain yang bisa dilakukan untuk mendukung program pemerintah tanpa harus mengubah fungsi hutan.
“Mengapa harus hutan yang diubah? Apakah ndak ada lahan lain atau teknologi budidaya (lain) yang mampu memenuhi kebutuhan pangan dan energi?” ujar Gatot kepada Maklumat.ID, Jumat (3/1/2025).
Dengan membuka atau mengubah hutan menjadi lahan terbuka untuk pertanian maupun energi, Gatot khawatir bakal memicu krisis iklim semakin parah dan mengundang bencana-bencana hidrometeorologi yang belakangan kian sering terjadi.
“Siap-siap menyambut dan menikmati bencana, terutama hidrometeorologi. Keberadaan hutan sebagai pengendali iklim tidak dapat digantikan, apakah mau mempercepat terjadinya perub iklim?” tegasnya.
Swasembada Pangan Bukan dengan Menyulap Hutan
Lebih lanjut, Dosen Prodi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menyoroti alasan pembukaan hutan adalah untuk merealisasikan dan mempercepat swasembada pangan yang telah dicanangkan pemerintah.
Menurut dia, menyukseskan swasembada pangan tidak serta merta harus membuka hutan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian. Sebab ekosistem hutan berperan sangat penting bagi kehidupan manusia.
“Program swasembada pangan tidak harus mengorbankan hutan, mengingat fungsi hutan strategis dalam kehidupan semua makhluk, di dalam kesatuan ekosistem hutan terdapat kesatuan komponen abiotik, biotik, dan kultur atau budaya, jadi menghilangkan hutan berarti menghilangkan kehidupan,” tandasnya.
Gatot menilai, pengendalian perubahan iklim justru harus berjalan senada dengan program swasembada pangan. Kunci agar Indonesia mampu mandiri pangan dan energi, kata dia, adalah pengelolaan secara benar dan bijak.
“Pengendalian perubahan iklim tidak harus bertentangan dengan swasembada pangan, apalagi yang dimaksud pangan tidak harus setara beras. Saya punya keyakinan Indonesia mampu mandiri pangan dan energi secara berkelanjutan, asalkan dikelola dengan benar dan bijak,” tegasnya.
“(Jika itu bisa diterapkan) Tidak mustahil ke depan, Indonesia (benar-benar bisa) menjadi the world leader,” imbuh Gatot.
Pemerintah Canangkan Sulap 20 Juta Hektare Hutan
Sebelumnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengungkapkan rencana pemerintah untuk mengubah 20 juta hektare hutan menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pangan, energi, dan air, di bawah Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Melansir BloombergTechnoz, Raja Juli Bersama Menteri Pertanian (Mentan) mengaku telah melakukan identifikasi luasan hutan yang bakal diubah menjadi lahan pangan dan energi.
“Dengan konsep hutan cadangan pangan dan energi ini, kami sudah mengidentifikasi dengan Menteri Pertanian, ada sekitar 20 juta hektare yang dapat dipergunakan untuk cadangan pangan, energi, dan air, ini,” ujar Raja saat di Istana Negara, Kamis (2/1/2025).
Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu menjelaskan, 1,1 juta hektar lahan menurut rencana bakal dimanfaatkan untuk penanaman varietas padi yang bisa tumbuh di lahan kering, yakni padi gogo, dengan kemampuan produksi 3,5 ton beras per hektare.
Sekadar informasi, menurut sejumlah kabar beredar, bibit padi gogo yang akan dipakai dalam proyek tersebut dikembangkan dan berasal dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
Target Tambahan Stok Beras 3,5 Juta Ton Per Tahun
Raja Juli menyebut, melalui program tersebut pemerintah menargerkan tambahan stok beras hingga mencapai 3,5 juta ton per tahun, yang mana jumlah tersebut setara dengan jumlah impor beras di tahun 2023 lalu.
Menurut Raja Juli, hal itu juga senada dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto melalui Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas), yang ingin menyetop keran impor terhadap beberapa komoditas pangan di tahun 2025 ini, termasuk beras.
“Apalagi sudah diinginkan oleh Pak Menko (Pangan), bahwa kita memang tahun depan (tahun ini/2025) tidak akan impor, tapi ini ada stok lain yang bisa kita gunakan untuk cadangan pangan,” terangnya.
Nantinya, kata Raja Juli, padi gogo bakal ditanam berdampingan dengan pohon aren atau pohon-pohon energi atau tanaman lainnya, dengan sistem tumpang sari.
Ia mengungkap, setiap hektar lahan tersebut menurut perkiraan bakal dapat memproduksi hingga sekitar 24 ribu kilo liter bioetanol, alias jika ditanam pada 1 juta hektar lahan, maka bakal menghasilkan 24 juta kilo liter bioetanol.
“Artinya dengan hanya menanam 1,5 juta aren saja di lahan yang 20 juta tadi, maka kita bisa subsidi BBM. Meskipun ini kena tanaman, baru akan bisa menghasilkan, nira dan menjadi bioetanol sekitar 6-7 tahun ke depan,” klaim Raja Juli.
“Tapi di antara itu juga bisa, tanah tersebut bisa dipergunakan untuk tanaman pangan. Bisa tadi sorgum, nanti bisa tadi juga padi gogo, bisa jagung dan sebagainya.”
Tersebar di Berbagai Wilayah
Tak hanya itu, Raja Juli juga mengungkapkan, lokasi 20 juta hektare lahan tersebut tersebar di berbagai provinsi se-Indonesia dan tidak hanya dalam skala besar seperti food estate, tapi juga bakal ada lumbung-lumbung pangan kecil di sejumlah daerah.
“Ada di seluruh provinsi, jadi ini juga akan menjadi lumbung pangan kecil, jadi bukan hanya food estate yang besar, tapi ini menjadi food estate di Aceh, bahkan di kabupaten/kotanya, di kecamatan, bahkan di desa,” jelasnya.
“Ini bagian dari swasembada pangan, jadi menjadi food estate, jadi lumbung-lumbung pangan di desa,” tandas Raja Juli.