PERKEMBANGAN demokrasi di Indonesia masih berjalan prosedural. Belum menyentuh ranah subtansinya. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Muhammad Sholihin Fanani mengatakan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 seharusnya bisa menjadi sarana untuk mencerdaskan masyarakat tetang bagaimana berdemokrasi dengan sehat.
“Masyarakat jangan hanya dieksploitasi dan dimobilisasi suaranya saja. Mereka itu harus pula dicerdaskan dengan edukasi bagaimana berdemokrasi dengan baik. Kita tingkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi,” katanya kepada maklumat.id, Senin (29/1/2024).
Pria asal Lamongan itu mejelaskan, seyogyanya demokrasi adalah proses untuk membangun tatanan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Sebab, pemilu adalah alat yang legal dan sah untuk memilih pemimpin bangsa. Yang dari pemilu akan dihasilkan pemimpin ditataran eksekutif maupun legislatif.
“Jangan sampai Pemilu yang menghabiskan dana triliunan tersebut, tidak menghasilkan tatanan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Juga jangan sampai tidak mampu mencerdaskan masyarakat menjadi berkemajuan,” tuturnya.
Sholihin lalu menyarankan, supaya ada beberapa hal yang harus dievaluasi dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah soal kampanye terhadap calon. Terutama terkait pemasangan alat peraga kampanye (APK) dari calon berupa baliho atau banner yang banyak ditemui di pinggir jalan.
Menurut dia, pemasangan APK harusnya bukan dilakukan oleh individu calon atau tim suksesnya. Namun, pemasangan APK harusnya difasilitasi oleh penyelenggara pemilu. Selain itu, kampanye calon anggota legislatif juga bisa difasilitasi dan dilakukan di platform media sosial maupun elektronik.
“Harusnya tidak ada kampanye individu, tapi kampanye difasilitasi oleh penyelenggara pemilu, yakni KPU. Sehingga calon tidak hanya masang gambar yang dipajang di pinggir jalan. Jadinya mereka lomba besar-besaran baliho tanpa ada visi misinya blas. Jadi mengganggu estetika,” kritiknya.
Sholihin menambahkan, evaluasi lainnya adalah terkait dengan masih maraknya praktik politik uang di setiap gelaran pemilu. Padahal, politik uang ditengarai sebagai bibit atau benih dari perilaku korupsi para pejabat di Indonesia. Politik uang dianggap pintu masuk tindak korupsi.
“Selama itu tidak bisa ditertibkan, kita tidak akan bebas dari praktek korupsi. Harus ada pencegahan terhadap perilaku korup tersebut. Dan pencegahan harus dilakukan dari hulunya. Yakni dari pemberantasan praktik politik uang di tiap Pemilu,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ia juga menyinggung soal pentingnya netralitas dari penyelenggara pemilu, aparat keamanan dan para pejabat negara. “Bagaimana mau berlangsung luber (langsung, umum, bebas dan rahasia), kalau ada intimidasi. Kalau penyelenggara pemilu, aparat dan pejabat tidak netral,” paparnya.
Sholihin menegaskan, kualitas dari pemilu 2024 akan menggambarkan kualitas bangsa dan negara. Sebab, dari pemilu salah satunya akan terpilih anggota dewan, yang tugasnya adalah membuat undang-undang atau legislasi.
“Jadi kalau pemilu tidak berlangsung dengan baik, maka jangan harap lima tahun ke depan negara jadi lebih baik. Pemilu adalah awal dari kita membangun pondasi bangsa. Kita akan memilih eksekutif maupun anggota legislatif. Mereka yang terpilih menjadi anggota dewan, utamanya, itu tugasnya legislasi. Bukan sekedar ladang pekerjaan. Jadi harus diisi oleh orang baik,” tandasnya.(*)
Editor: Aan Hariyanto