Pemkab Sampang Menolak Milad Muhammadiyah, Toleransi Hanya Mitos

Pemkab Sampang Menolak Milad Muhammadiyah, Toleransi Hanya Mitos

MAKLUMAT — Sebuah hasil riset yang terbit di jurnal Contemporary Southeast Asia menyebutkan bahwa pluralisme di NU hanyalah mitos. Yang pluralis adalah elitnya. Sementara NU di akar rumput cenderung intoleran, eksklusif, tidak menerima keragaman, bahkan kerap memaksakan kehendak.

Penolakan Milad Muhammadiyah di Sampang
Nurbani Yusuf

Saya membayangkan teman-teman BANSER menjaga acara Milad ke-113 Muhammadiyah di Pendopo Trunojoyo Sampang, sebagaimana mereka rajin dan ikhlas menjaga kebaktian Natal di gereja. Namun yang terjadi justru sebaliknya—sungguh disayangkan. Padahal Kota Pamekasan, Bangkalan, dan Sumenep terbilang kondusif.

^^^^

Secara politik, konsistensi NU justru terletak pada inkonsistensinya. Inilah eksotisme NU yang kerap menampilkan wajah ambigu. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “kekecualian” atau exceptionalism, tulis Burhanuddin Muhtadi.

Dengan demikian, toleransi NU justru terletak pada intoleransinya itu sendiri—inklusivitasnya berada dalam eksklusivitasnya. Kebhinekaannya hadir dalam hegemoninya. Keragamannya terletak pada pengakuannya secara kolektif. Ini memang sikap bipolar, semacam ketidakkonsistenan yang ajeg. Namun, di situlah letak kekuatan sekaligus kelemahannya.

Karena itu, memahami kultur dan tradisi NU tidak bisa menggunakan standar para ulama dan elite di atas semata, melainkan justru melalui para pemimpin akar rumput—yang oleh Gus Dur disebut sebagai kiai kampung—yang bahkan dengan sesama Nahdliyin pun masih kerap menaruh curiga.

^^^^^

Yudi Latif memilah generasi kelima dan keenam kaum inteligensia Muslim, yang kemudian oleh Budhy Munawar Rahman disebut sebagai Islam progresif. Yakni, Islam yang memberi penekanan utama pada pengembangan ilmu pengetahuan, diskursus keadilan, keterbukaan, sikap toleransi, serta pentingnya membangun integritas moral kaum Muslim dalam membangun kebangsaan Indonesia.

Baca Juga  Antara DPD RI dan Mosi Integral Natsir

Pandangan ini bertolak belakang dengan arus utama di tingkat akar rumput yang dominan memuja hal-hal furu’, seperti revisi waktu salat Subuh, isbal, janggut, minyak wangi, sentimen anti-Tiongkok, anti-Yahudi, anti-Kristen, perebutan kekuasaan, dan pembangunan identitas eksklusif.

Buku berjudul Reorientasi Pembaruan Islam karya Budhy Munawar Rahman menarik untuk disimak. Di sana ditunjukkan tren simultan, seperti yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia ketika mengetok palu yang “membunuh” tiga konsep penting: pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama.

Ikhtiar saling menafikan secara intoleran ini terus berlangsung secara masif terhadap apa pun yang tidak sepemahaman atau sepemikiran. Dengan demikian, toleransi kerap selalu berpasangan dengan intoleransi.

^^^^

Syukur pula jika teman-teman BANSER turut menjaga aset-aset Muhammadiyah sebagaimana mereka menjaga gereja saat perayaan Natal. Bagi saya, toleransi itu sederhana: bisa ngopi dan udud bareng sambil bakar jagung—salam ta’dzim dan salam seduluran saklawase.

Kepada kolega saya, Pimpinan PDM Kabupaten Sampang, saya panjatkan doa khusus untukmu, keluargamu, serta seluruh jamaah dan aktivis pergerakan Muhammadiyah Kabupaten Sampang. Saya merasakan kepedihan dan keprihatinanmu. Semoga kesabaran, keberkahan, kemuliaan, dan rida Allah senantiasa tercurah atasmu. Aamiin.

*) Penulis: Nurbani Yusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *