
MAKLUMAT – Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyampaikan pernyataan sikap terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR RI dalam Sidang Paripurna, Kamis (20/3/2025) lalu.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan secara terbuka pada Sabtu (22/3/2025), para civitas akademika UMY menyoroti proses pembahasan yang berlangsung cepat, tanpa transparansi, dan mengabaikan aspirasi publik.
Wakil Rektor UMY Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan, Prof Dr Zuly Qodir MAg, menegaskan bahwa revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 ini memberikan ruang yang lebih luas bagi TNI dalam ranah sipil, yang berpotensi merusak tatanan demokrasi di Indonesia.
“Setelah disahkan oleh DPR, UU TNI menjadi pintu masuk TNI dalam menggerogoti supremasi sipil dalam iklim demokrasi. Sehingga ini akan menjadi sangat meresahkan dan merupakan alarm berbahaya bagi keberlangsungan kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan iklim demokrasi,” ujar Zuly.
Para civitas akademika UMY ini menyoroti beberapa poin utama dalam revisi UU TNI, yang dianggap berbahaya bagi demokrasi Indonesia, terutama soal perluasan tugas militer; diperbolehkannya militer aktif menduduki sejumlah jabatan publik; hingga perpanjangan usia pensiun bagi tamtama, bintara, maupun perwira.
Terkait kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi militer, pakar hukum tata negara UMY Prof Iwan Satriawan MCL PhD, mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat tidak bisa berjalan jika TNI kembali ke ranah sipil.
“Prinsip dari TNI menurut UUD adalah menjaga pertahanan dan keamanan negara. Jika TNI ingin masuk ke wilayah sipil, maka seharusnya dia melepaskan seragam dan senjatanya. Kita tidak bisa berdemokrasi jika salah satu pihak memegang senjata,” tegasnya.
Enam Sikap Civitas Akademika UMY
Dalam kajiannya, civitas akademika UMY menyampaikan enam sikap sebagai respons atas kondisi demokrasi saat ini:
Pertama, menuntut pemerintah dan DPR menjunjung tinggi konstitusi serta menjaga prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Kedua, mendesak TNI/Polri untuk melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme guna memulihkan kepercayaan publik.
Ketiga, mengimbau insan akademik di seluruh Indonesia agar tetap kritis terhadap kebijakan yang melemahkan demokrasi.
Keempat, mendukung masyarakat sipil dalam menjaga agenda reformasi demi memastikan supremasi sipil tetap terjaga.
Kelima, memohon kepada Presiden untuk tidak menandatangani revisi UU TNI serta menerbitkan Perppu guna mengembalikan posisi TNI sesuai amanat reformasi.
Keenam, mendorong masyarakat sipil untuk melakukan judicial review (JR) terhadap revisi UU TNI yang telah disahkan.
Khawatiran Munculnya Neo-Otoritarianisme
Prof Zuly menegaskan bahwa pernyataan sikap ini lahir dari kepedulian civitas akademika terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Ia menilai bahwa revisi UU TNI ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi fenomena new authoritarianism (neo-otoritarianisme), yang bisa mengancam nilai-nilai reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
“Kita pantas untuk khawatir, bahkan takut akan semakin meluas dan menguatnya peran militer dalam politik kekuasaan. Kondisi ini akan mengaburkan komitmen bersama bahwa TNI seharusnya menjadi alat pertahanan negara yang kuat, tangguh, dan profesional,” pungkasnya.
Para civitas akademika UMY ini berharap, supaya pemerintah dan DPR mendengarkan suara publik serta mempertimbangkan kembali revisi UU TNI demi menjaga tatanan demokrasi yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade terakhir.ungkapnya.