MAKLUMAT — Aksi penggusuran paksa yang dilakukan Badan Pengusahaan (BP) Batam di Pulau Rempang kembali menuai kecaman. Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang menyebut tindakan kekerasan yang dilakukan Tim Terpadu BP Batam pada Selasa (8/7/2025) sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak berperi kemanusiaan.
Dalam keterangan yang diterima Maklumat.id pada Jumat (11/7/2025), dikatakan bahwa insiden bermula ketika sekitar 600 personel Tim Terpadu, terdiri dari TNI, Polri, Satpol PP, dan Ditpam BP Batam, mendatangi rumah Rusmawati, warga Kampung Tanjung Banon, sekitar pukul 08.00 WIB. Mereka melakukan penggusuran terhadap rumah warga yang masih bertahan di lokasi tersebut.
Nur Suarni (65), Rusmawati (54), dan anaknya diminta keluar dan mengosongkan rumah. Setelah mereka keluar, Tim Terpadu membuat pagar betis mengelilingi rumah, sehingga warga tak dapat kembali untuk mengambil barang-barang berharga.
“Masih ada barangku di dalam rumah dan berilah aku kesempatan terakhir untuk memvideokan proses perubahan rumahku karena ada makam anakku di belakang rumah ini,” kata Rusmawati saat itu.
Namun, saat Rusmawati mencoba merekam proses perobohan rumahnya, ia ditarik paksa. Nasib serupa dialami Nur Suarni. Ia ditarik secara paksa, bahkan digotong ke dalam mobil.
Menurut laporan Tim Advokasi, Nur Suarni diperlakukan kasar, dicampakkan ke dalam mobil, dan dihimpit oleh petugas Ditpam BP Batam. Mobil yang membawanya melaju kencang menuju Batam, sementara Nur Suarni yang memiliki riwayat penyakit jantung merasakan ketakutan dan sakit perut.
Ia meminta mobil berhenti untuk buang air besar, namun salah seorang petugas justru menyuruhnya buang air di dalam mobil. Akhirnya, ia buang air di mobil tersebut.
Setelah itu, mobil berhenti di Simpang Sei Raya untuk membersihkan kotoran. Namun perjalanan tetap berlanjut dengan kecepatan tinggi. Di tengah perjalanan, Nur Suarni kembali meminta agar kecepatan dikurangi. Alih-alih mengindahkan, petugas justru berkata, “Diam aja, biar kita mati bersama.”
Ucapan itu membuat Nur Suarni shock hingga tak sadarkan diri. Ia baru sadar saat sudah berada di rumah hunian sementara di Batu Aji, Batam.
Kecaman Keras, Dinilai Melanggar HAM
Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, mengecam keras hal itu. Menurutnya, tindakan tersebut telah melanggar hak asasi manusia.
“BP Batam telah melakukan perbuatan yang tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Darimana wewenang BP Batam membawa secara paksa Warga Negara di luar kehendaknya, ini merupakan perampasan kemerdekaan orang,” tegas Andri.
Ia menegaskan, tindakan tersebut bisa dijerat Pasal 328 KUHP tentang penculikan dan Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan seseorang.
Andri juga menyayangkan sikap SPKT Polresta Barelang yang menolak laporan Nur Suarni. Bahkan, SPKT malah menyarankan agar warga melaporkan kejadian itu ke Ketua Tim Terpadu BP Batam.
“Ini menunjukkan minimnya pengetahuan Kepolisian Polresta Barelang terhadap hukum acara. Dalam KUHAP jelas disebutkan, penyelidik wajib menerima laporan,” tegasnya.
Penggusuran Paksa: Perpanjang Konflik Rempang
Di sisi lain, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli, menilai tindakan BP Batam justru memperpanjang konflik lahan di Pulau Rempang.
“Penggusuran paksa oleh Ditpam BP Batam membongkar rumah dan merusak kebun masyarakat merupakan pelanggaran sepihak tanpa mengedepankan kemanusiaan,” tegas Ahlul.
Menurutnya, penggusuran ini melanggar hak dasar warga, terutama hak atas tempat tinggal yang layak. Penggusuran juga berdampak buruk terhadap perekonomian masyarakat, khususnya nelayan dan petani.
“Apapun bentuk programnya, tetap saja menggusur. Ini jelas bentuk perampasan tanah ulayat dan ruang hidup masyarakat demi proyek Rempang Eco-City,” ujarnya.
Tuntutan Tim Advokasi Solidaritas Nasional
Lebih lanjut, atas dasar tersebut Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang menyatakan sikap tegas atas kejadian ini dan mendesak:
- Kepolisian untuk menerima Laporan Polisi yang dilakukan oleh masyarakat dan mendesak proses hukum yang adil dan transparan terhadap pelaku kekerasan;
- Meminta Propam Polda Kepri mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan SPKT Polresta Barelang;
- Komnas HAM untuk turun dan melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat atas penggusuran paksa dan kekerasan yang dilakukan Tim Terpadu BP Batam;
- Ombudsman untuk mengusut dan menindak dugaan maladministrasi yang dilakukan Tim Terpadu BP Batam; serta
- DPR RI untuk mengevaluasi Proyek Rempang Eco City dan pembubaran BP Batam.
Dalam pernyataannya, Tim Advokasi juga menegaskan bahwa hak atas tempat tinggal adalah bagian dari hak asasi yang diakui dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005.