MAKLUMAT — Pencegahan radikalisme bukan semata tugas aparat keamanan, tapi merupakan kerja kolektif seluruh elemen masyarakat. Hal itu mengemuka dalam Dialog Radikalisme bertajuk ‘Penguatan Cinta NKRI dengan Mencegah Radikalisme’, di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rabu (23/7/2025).
Dipandu oleh KPS S2 Ilmu Kepolisian Sekolah Pascasarjana Unair, Dr. Prawita Thalib, SH., M.Hum, dalam forum tersebut Kepala Bakesbangpol Kota Surabaya, Tundjung Iswandaru, menekankan pentingnya kehadiran masyarakat di ruang-ruang kosong yang rentan disusupi paham radikal.
“Pencegahan radikalisme tidak bisa hanya diserahkan pada aparat. Ia adalah kerja kolektif. Tugas kita harus hadir di ruang-ruang yang kosong: sekolah, di media sosial, di keluarga. Karena jika kita tidak mengisi ruang itu dengan cinta, maka pihak lain akan mengisi dengan kebencian,” ujarnya.
Menjaga Harmoni di Tengah Keberagaman
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya, Dr. Muhammad Yazid, turut menyoroti pentingnya menjaga harmoni di tengah keberagaman masyarakat Surabaya.
“Kota Surabaya yang warganya begitu beragam latar belakangnya baik dari aspek suku, agama, budaya dan profesi, syukur alhamdulillah warganya bisa hidup rukun, damai dan harmonis, saling menghormati penuh toleransi sehingga kondisi ini harus tetap dijaga,” kata dia.
Ia melanjutkan bahwa setiap agama mengajarkan toleransi dan moderasi, sehingga tidak ada ruang bagi radikalisme. “Bangun silaturahmi untuk saling mengayomi dan dialog untuk berinteraksi yang saling menghormati, bukan memaksa apalagi melakukan kekerasan,” tandas Yazid.
Media Sosial Jadi Salah Satu Medium Penyebaran Radikalisme
Sementara itu, dalam perspektif penegakan hukum, Dr. Dani Teguh Wibowo dari Densus 88 menjelaskan tentang karakteristik serta faktor-faktor yang mendorong seseorang terlibat dalam aksi teror. “Tindakan terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa,” sebutnya.
“Dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pendekatan yang persuasif hingga melakukan kejahatan dan pembunuhan yang dianggap sebagai misi sucinya,” sambung Dani.
Tak hanya itu, Dani juga menyorot perkembangan dunia teknologi, utamanya media sosial. Menurutnya, media sosial menjadi salah satu medium utama penyebaran ideologi radikal.
“Pengaruh media sosial begitu besar dalam melakukan doktrinasi paham radikal… dan sudah ribuan konten kita hapus, tapi masih banyak lagi bermunculan konten-konten yang baru dalam dunia maya,” tandasnya.
Kisah Eks Narapidana Terorisme
Lebih lanjut, kisah nyata dihadirkan Arif Fatoni, seorang mantan narapidana terorisme yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah. Ia menceritakan perjalanan ekstremismenya yang dimulai dari kajian keagamaan yang mempromosikan khilafah.
“Pada tahun 2010 kami aktif mengikuti kajian berkala sehingga ada ketertarikan dengan tema kajian yang membahas khilafah, kami mulai terpengaruh dan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah lebih lebih yang tidak sesuai dengan keyakinan dan ditawarkan sebagai solusi melalui sistem khilafah, dan saya terus berusaha menambah pengetahuan dengan berjihad melawan orang kafir termasuk pemerintah yang mendukung kekafiran,” kenangnya.
“Kami mulai terpengaruh dan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah, lebih-lebih yang tidak sesuai dengan keyakinan,” imbuh Arif.
Arif mengungkap bahwa ajakan dari sang ibu menjadi titik balik untuk meninggalkan radikalisme.
“Pengaruh ibuku sangat kuat untuk meruntuhkan keyakinan yang saya yakini, sehingga kembali ke Indonesia bertemu keluarga, tapi pengaruh lingkungan masih kuat untuk kembali melakukan radikalisme dengan sembunyi-sembunyi yang didukung istri untuk turut bergabung hingga berpartisipasi dalam aksi pengeboman, yang akhirnya tertangkap Densus 88 dan di penjara di Nusa Kambangan,” katanya.
Arif kini telah kembali ke tengah masyarakat dan menyatakan syukur dapat hidup tenang serta tidak lagi dikejar aparat keamanan.
“Kami berinteraksi dengan para pembina sehingga kembali ber-NKRI. Kami benar-benar merasa bersyukur hidup tenang, tidak dikejar-kejar aparat keamanan yang sungguh mengkhawatirkan. Kami berterima kasih dan bisa hidup di tengah masyarakat kembali,” sebutnya.
Memahami Sejarah dan Filosofi Bangsa
Sementara itu, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Unair, Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo, SH., M.Hum,, menyampaikan semangat kebangsaan dengan gaya khas yang membumi.
“Kita harus bangga sebagai bangsa Indonesia sebagai negara sejuta musim, tidak sekedar musim panas dan dingin, tapi di Indonesia bisa mengalami musim durian, musim jambu dan lainnya,” ucapnya, disambut antusiasme peserta.
Dalam suasana yang akrab dan inspiratif, ia mengajak peserta memahami sejarah dan filosofi bangsa, serta menguatkan identitas Pancasila sebagai fondasi negara.
“Garuda Pancasila adalah burung cita-cita tertinggi berbangsa, tercermin dalam sila-sila di Pancasila,” tegasnya.
“Kampus ini menjadi tempat untuk mencari cinta dan harapan kemajuan bangsa Indonesia,” pungkas Suparto.
Acara ditutup dengan diskusi mendalam seputar proses rekrutmen terorisme, strategi pencegahan, serta pembinaan ideologis terhadap eks-narapidana. Di akhir acara, seluruh peserta bersama-sama menyanyikan lagu ‘Indonesia Pusaka’ dengan penuh khidmat, sebagai simbol kecintaan kepada Tanah Air.