MAKLUMAT – Pemerintah kembali menggelontorkan stimulus tarif transportasi guna mendorong mobilitas masyarakat dan pertumbuhan ekonomi selama masa libur sekolah. Salah satu kebijakannya adalah pemberian diskon 50 persen untuk tiket angkutan laut dari awal Juni hingga akhir Juli 2025.
Namun, Asosiasi Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menolak kebijakan ini. Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo menyebut diskon tersebut justru berpotensi melumpuhkan industri pelayaran penyeberangan nasional yang kini sudah megap-megap.
“Kami tidak menolak semangat pemerintah untuk mendorong mobilitas. Tapi kami menolak pemberian diskon tarif 50 persen yang justru memperbesar beban operator kapal,” kata Khoiri, Rabu (5/6/2025).
Tarif Masih di Bawah HPP, Beban Terus Naik
Menurut Gapasdap, tarif kapal penyeberangan yang berlaku saat ini masih jauh dari wajar. Berdasarkan perhitungan resmi Tim Tarif Kementerian Perhubungan pada 2019, selisih antara tarif dan Harga Pokok Produksi (HPP) mencapai 31,81 persen. Artinya, operator kapal sudah “berdiskon” untuk masyarakat tanpa subsidi apa pun.
Celakanya, perhitungan HPP itu masih memakai asumsi lama, yakni kurs rupiah dan upah minimum regional (UMR) tahun 2019. Sementara biaya operasional kapal terus naik setiap tahunnya.
“Operator kapal sudah terlalu lama menanggung subsidi silang tanpa kompensasi. Diskon tarif 50 persen hanya akan memperdalam kerugian,” kata Khoiri.
Pemerintah sejatinya sudah menetapkan penyesuaian tarif angkutan penyeberangan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 131 Tahun 2024. Tapi hingga kini, regulasi itu belum kunjung berlaku.
“Kalau tarif tidak disesuaikan tapi harus ada potong harga tiket lagi, ini mendorong kapal tenggelam,” tegasnya.
Banyak Kapal, Sedikit Dermaga
Masalah tarif bukan satu-satunya. Menurut Gapasdap, industri penyeberangan saat ini sudah dibebani dengan persoalan izin operasi yang tak terkendali. Di lintasan utama seperti Merak–Bakauheni, jumlah kapal melebihi kapasitas dermaga. Akibatnya, banyak kapal hanya beroperasi 12 hari dalam sebulan, atau di bawah 40 persen dari potensi maksimal.
“Kapal dapat pemasukan dua belas hari, tapi biaya tetap jalan terus sebulan penuh,” ujar Khoiri. Biaya itu mencakup bahan bakar untuk genset yang harus menyala 24 jam, gaji kru jaga yang wajib siaga penuh, hingga beban pelabuhan, docking, asuransi, dan PNBP. Sementara pendapatan terus turun karena jadwal operasi terbatas dan tiket didiskon.
Yang membuat pelaku usaha kian frustrasi adalah lintasan seperti Merak–Bakauheni seharusnya sudah masuk dalam status moratorium izin kapal. Tapi kenyataannya, izin baru terus keluar. “Ini melanggar prinsip keteraturan, keselamatan, dan kesinambungan usaha. “Sementara oversupply kapal malah dibiarkan,” kata Khoiri.
Tak Dapat Insentif, Tapi Diminta Potong Harga
Gapasdap menilai kebijakan diskon tarif saat peak season tidak adil. Di saat biaya naik, pendapatan harus turun. Apalagi, tak ada insentif dari pemerintah yang bisa membantu menutup selisih kerugian.
“Angkutan udara dapat pembebasan PPN, potongan navigasi, insentif bandara. Penyeberangan tidak pernah dapat. Bahkan saat COVID-19 pun tidak ada stimulus,” kata Khoiri.
Saat ini Gapasdap mengusulkan lima langkah konkret agar industri penyeberangan tetap bisa beroperasi. Kedua, menegakkan moratorium perizinan kapal di lintasan utama, jangan lagi menambah izin yang memperburuk daya saing dan keselamatan
Ketiga memberikan subsidi langsung kepada operator kapal atas diskon tarif dan minimnya hari operasi, sedangkan keempat dan kelima meringankan beban fiskal dan biaya pelabuhan seperti biaya PNBP, biaya tambat dan labuh serta biaya pelabuhan. Terakhir memberi fasilitasi pembiayaan berbunga rendah dan jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan armada.
Ancaman Kualitas dan Keselamatan
Gapasdap menegaskan bahwa organisasi akan tetap mendukung upaya pemerintah mendorong mobilitas dan ekonomi. Tapi dukungan itu harus adil, rasional, dan berbasis pada realitas lapangan.
“Tanpa koreksi pada tarif, izin, dan biaya operasional, jangan salahkan kalau layanan penyeberangan nasional makin menurun kualitasnya. Bahkan keselamatannya bisa terancam,” Khoiri memungkasi.