DUNIA parenting seketika dibuat geger, gaduh, gempar dan apapun kata sinonim lainnya yang mampu menggambarkan kehebohannya. Segala penelitian dan uji coba soal parenting, khususnya untuk anak remaja dihancurkan oleh terbitnya peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 soal kesehatan. Lebih spesifik kontroversi tersebut terdapat pada pasal 103 ayat (4) huruf (e) yang bunyinya “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana di maksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.”.
Sebagai pemerhati sekaligus orang tua, tentu peraturan tersebut tidak sejalan dengan pola asuh yang diterapkan selama ini. Di mana selama ini orang tua selalu menjaga dan mewanti anak-anaknya dalam pergaulan bebas, khususnya pada aktifitas seksual. Semboyan mencegah lebih baik dari pada mengobati menjadi pegangan para orang tua, menjauhkan segala potensi yang bisa menjerumuskan anak-anak pada lembah hitam. Tetapi secara tiba-tiba pemerintah ingin membekali anak-anak kita dengan alat kontrasepsi. Seolah pemerintah ingin memfasilitasi perbuatan melanggar agama dan norma tersebut.
Jika menelisik latar belakang lahirnya peraturan pemerintah tersebut tidak lain dan tidak bukan dikarenakan seks bebas tanpa pengaman. Yang itu beresiko pada kesehatan reproduksi, yakni munculnya berbagai penyakit kelamin seperti chlamydia, gonore, sifilis, herpes, HPV dan HIV. Padahal, tidak ada jaminan 100% bahwa alat kontrasepsi mampu mencegah penularan penyakit kelamin tersebut. Sebab, beberapa jenis penyakit seperti herpes, kutil kelamin, dan sifilis, dapat menyebar melalui kontak langsung antar kulit.
Alih-alih ingin menjaga kesehatan reproduksi pada anak remaja, justru peraturan pemerintah ini memberikan keleluasaan pada remaja, sekaligus tugas berat baru untuk orang tua dan pengasuh. Pengadaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja juga sama halnya dengan mencegah anak agar tidak sakit gigi. Bukan menjauhkan coklat dan permen darinya, namun malah membuat coklat dan permen dengan bentuk yang menggoda dan rasa yang enak. Akhirnya anak tersebut memakannya dan sakit lah giginya.
Dari sisi regulasi serta redaksi, pasal 103 ayat (4) huruf (e) dinilai tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia. Bahkan bertentangan dengan asas Pancasila, yakni sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di mana perilaku yang dijalani harus berpijak pada norma ketuhanan, apapun agamanya. Karena pada hakikatnya agama apapun akan mengharamkan perilaku seks bebas. Serta perilaku-perilaku lainnya yang dapat merusak diri sendiri maupun tatanan masyarakat. Seperti yang kita tahu Indonesia bukanlah negara agnostik ataupun atheis. Di mana semua peraturan yang dibuat harusnya berkiblat dengan norma agama.
Dalam agama islam jangankan perzinahan, bahkan mendekati zina saja haram. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surah Al-Isra’ ayat 32 yang artinya “Janganlah kalian mendekati zina karena zina itu tindakan keji dan jalan yang amat buruk.”. Pernah juga Rasulullah bersabda tentang bahaya zina dalam Hadist Riwayat Ibnu Majah yang bunyinya “Apabila perzinaan (pelacuran dan perilaku seks bebas) sudah meluas di masyarakat dan dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa), maka infeksi dan penyakit mematikan yang sebelumnya tidak terdapat pada zaman nenek moyangnya akan menyebar diantara mereka”.
Selain bertentangan dengan asas Pancasila, secara spesifik pengadaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja juga bertentangan dengan Undang-Undang KUHP Nomor 1 Tahun 2023 pasal 411 tentang hukum perzinahan yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Jadi bagaimana logikanya orang yang berzina diberi hukuman, tetapi orang yang tidak berzina malah dibekali kontrasepsi. Artinya pemberian itu adalah bentuk legalitas untuk berzina.
Dengan kata lain Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 pasal 103 ayat (4) huruf (e) tentang pengadaan alat kontrasepsi pada anak usia sekolah dan remaja yang diteken oleh Presiden Jokowi pada Jum’at, 26 juli 2024 adalah tindak kejahatan pada generasi muda bangsa dan termasuk upaya menormalisasikan perilaku seks bebas. Perlu kiranya pihak terkait melakukan tindakan revisi, tidak hanya merubah redaksi. Namun juga menghapusnya. Karena bagaimana pun bentuk redaksinya, tujuannya yang tersirat tetap sama yakni adanya upaya menormalisasikan perilaku seks bebas.
Presiden jokowi di akhir masa jabatannya seharusnya tidak bertindak gegabah dan fatal dengan mengadopsi konsep barat yakni CSE (Comprehensive Sex Education) yang bebas, dan menerapkannya di indonesia yang ketimuran. Sangat tidak cocok dan pasti akan menimbulkan gejolak dan penolakan dari berbagai kalangan. Bagaimana prabowo dan gibran anaknya bisa mewujudkan cita-cita “Indonesia Emas 2045”.
Jika sejak tahun 2024, anak-anak Indonesia sudah disajikan regulasi yang multitafsir dan merusak. Belum usai soal pornografi yang merajalela, sekarang anak-anak kita akan di manjakan dengan fasilitas alat kontrasepsi yang berdalih perlindungan atas kesehatan reproduksi.
Silviyana Anggraeni, Penulis adalah Anggota Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan