24 C
Malang
Jumat, Mei 3, 2024
OpiniRisalah Politik Muhammadiyah

Risalah Politik Muhammadiyah

Syafiq A. Mughni.

KETERKAITAN Muhammadiyah dengan politik mengalami pasang surut. Ketika berdiri, Muhammadiyah sama sekali tidak terlibat politik sekalipun beberapa tokohnya menjadi anggota SI (Sarekat Islam). Kemudian, semakin jelas perannya dalam politik ketika semakin banyak rangkap anggota antara Muhammadiyah dan SI. Ketika muncul konflik kepentingan, Muhammadiyah melarang keanggotaan rangkap. Pada zaman pendudukan Jepang, tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi motor MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), yang sekalipun bukan partai tetapi menjadi wadah aspirasi politik Islam.

Setelah Indonesia merdeka, Muhammadiyah terlibat dalam Partai Masyumi, bahkan menjadi anggota istimewa. Setelah terjadi kemelut politik di akhir demokrasi liberal, Muhammadiyah lepas dari Masyumi dan kembali ke khittahnya. Sikap itu diputuskan dalam bentuk Khittah Palembang 1959. Namun demikian, gairah politik Muhammadiyah muncul kembali ketika ada ide untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik di awal orde baru. Ide itu tidak berlanjut, tetapi Muhammadiyah kemudian menjadi bagian dari Amal Muslimin yang menjadi embrio Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Khittah Ponorogo 1969 menunjukkan pemihakan terhadap Parmusi yang hanya mempunyai hubungan ideologis tetapi tidak organisatoris.

Perkembangan politik orde baru membuat Parmusi yang baru lahir itu tidak aspiratif, sehingga Muhammadiyah mengambil sikap netral terhadap partai itu. Sikap itu dituangkan dalam Khittah Ujung Pandang 1971. Khittah itu memuat beberapa hal. Pertama, secara tegas Muhammadiyah menentukan posisi dan sikapnya yang benar-benar netral terhadap politik praktis dan terhadap partai politik, yakni tidak memiliki hubungan afiliasi apapun. Kedua, sementara Khittah tahun 1969 masih mengandung pemihakan terhadap Parmusi, pada Khittah tahun 1971 secara jelas Muhammadiyah menunjukkan kenetralannya dengan meletakkan partai apapun termasuk Parmusi berada di luar Muhammadiyah. Semangatnya adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Artinya, melakukan fungsi dakwah terhadap kekuatan-kekuatan politik. Ketiga, memberi kebebasan politik kepada warga, baik dengan menggunakan hak politiknya maupun tidak, sebagai sikap yang cukup terbuka dari Muhammadiyah.

Sikap netral tersebut disempurnakan lagi dalam Khittah Surabaya 1978, yang memuat sikap bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun. Lebih dari itu, ditegaskan bahwa setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Pada akhirnya, sejak Muktamar ke-45, Muhammadiyah mempertegas dirinya sebagai kekuatan yang berperan dalam politik kebangsaan.

Namun demikian, netralitas sikap Muhammadiyah terhadap partai politik dan disengagement-nya dalam waktu yang lama dari politik praktis mengakibatkan munculnya dua hal; positif dan negatif. Yang positif adalah bahwa Muhammadiyah bisa berkonsentrasi di bidang amal usahanya, seperti pendidikan, kesehatan dan santunan sosial. Jumlah amal usaha Muhammadiyah semakin banyak dan berakar di masyarakat. Juga, stigma yang menimpa partai politik bisa dihindari oleh Muhammadiyah. Dengan demikian jangkauan dakwahnya semakin luas. Tetapi, di samping itu, ada sisi negatif. Muhammadiyah mengalami kelangkaan kader politik yang kompeten, gagap menyikapi perkembangan politik, dan tidak sensitif terhadap situasi politik.

Dalam situasi perubahan yang cepat dan menentukan nasib bangsa dan masyarakat, banyak pimpinan Muhammadiyah yang bingung untuk menentukan sikap politiknya, dan akhirnya tidak bisa berbuat apapun di saat-saat peran Muhammadiyah sangat diperlukan. Dalam situasi demikian, pendidikan politik di kalangan Muhammadiyah menjadi penting bukan saja agar mayarakat Muhammadiyah menjadi warga negara yang baik, tetapi juga mampu menjadi kekuatan perubahan. Tentu hal ini membutuhkan perluasan wawasan dan kualitas leadership yang memungkinkan terwujudnya langkah-langkah strategis dengan tetap berada di dalam koridor politik kebangsaan.

Dilema yang dihadapi oleh Muhammadiyah sekarang bukan antara terjun ke politik kekuasaan atau tidak. Tetapi, persoalannya adalah apakah terus menjadi kekuatan moral untuk meluruskan kiblat bangsa atau sebaliknya hanyut dalam kepentingan praktis. Muhammadiyah akan semakin ‘berjaya’ jika mau menjadi komprador oligarki, menjual idealisme, bersikap oportunis, dan mendukung semua kebijakan pemerintah tanpa reserve. Tapi Insya Allah, itu bukan jalan Muhammadiyah. (*)

Syafiq A. Mughni, Penulis adalah Ketua PP Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah MATAN edisi 207 (Oktober 2023) dengan judul “Politik”

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer