MAKLUMAT – Maraknya konten kebebasan berekspresi di media sosial kerap memantik perdebatan publik di dalam negeri. Tak sedikit yang menilai konten-konten tersebut menyimpang secara seksual maupun gender, bertentangan dengan nilai budaya, dan moral. Sementara sebagian besar warganet mengecam, para pelaku kerap berdalih berlindung di balik narasi hak asasi manusia (HAM).
Fenomena ini mengglitik dosen Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumala Sari, yang menyebut persoalan ini tak lepas dari pengaruh budaya populer Barat tanpa filter. “Masyarakat Indonesia masih memegang erat nilai-nilai Timur yang berakar pada tradisi, agama, dan moral. Ketika budaya Barat masuk tanpa penyaringan, maka memunculkan benturan,” ujarnya kepada tirto.
Menurut Luluk, saat iini cukup banyak konten yang menunjukkan ekspresi gender non-tradisional di media sosial. Begitu pula gaya hidup liberal, hingga perilaku seksual yang dianggap menyimpang oleh banyak kalangan. Ia menilai anak muda kerap tergoda untuk meniru apa yang mereka lihat di dunia digital tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berlaku di Indonesia.
“Remaja merasa tindakannya sah karena mengatasnamakan HAM. Tapi tidak melihat konteks budaya di sini. Lalu mengunggahnya ke media sosial dengan bangga, seolah itu bentuk kebebasan berekspresi,” kata Luluk.
Kuatkan Pendidikan Agama dan Karakter
Namun, Luluk menekankan bahwa penyimpangan seksual atau gender tak semata pengaruh luar. Faktor internal seperti kondisi keluarga yang tidak harmonis dan pergaulan yang buruk juga berperan besar. Individu yang tumbuh dalam lingkungan broken home atau relasi yang toksik lebih rentan terpapar konten-konten negatif. Apalagi jika kapasitas spiritualnya rendah.
“Kalau seseorang punya ikatan keluarga yang baik, pertemanan yang sehat, dan fondasi spiritual yang kuat, tentu punya benteng moral. Mereka tidak mudah terpengaruh,” jelasnya.
Stigma sosial terhadap pelaku penyimpangan juga memperparah kondisi. Alih-alih menyembuhkan, penghakiman justru memperdalam luka psikologis dan menurunkan rasa percaya diri. Karena itu, Luluk mendorong pendekatan yang lebih humanis dan solutif.
“Langkah awal adalah asesmen,” ia menegaskan. Luluk meminta menganilis sejauh mana penyimpangan terjadi. Menurutnya, tidak semua kasus harus ada rehabilitasi secara keras. Sebab lembaga pendidikan dan keagamaan bisa membuka ruang dialog, tanpa harus memberi hukuman. Tak lipa, kehadiran tokoh agama perlu mengambil sikap progresif dan responsif terhadap realitas anak muda saat ini.
Dorong Remaja dengan Kegiatan Positif
Pada sisi regulasi, Luluk menilai UU ITE belum cukup kuat menangkal banjir konten negatif. Ia mendorong adanya kerja sama yang lebih erat antara pemerintah dan platform digital untuk memperbaiki sistem filterisasi konten. Tak hanya itu, Luluk mengingatkan edukasi moral dan kegiatan penyuluhan perlu digalakkan.
“Kegiatan anak muda di tingkat desa selama ini minim. Biasanya hanya ibu-ibu PKK yang aktif. Anak muda butuh ruang kreatif agar tidak larut dalam konten destruktif,” tutupnya.
Fenomena penyimpangan seksual di media sosial seolah menjadi cermin benturan dua dunia: antara kebebasan individu ala budaya global dengan nilai-nilai komunal yang dijaga masyarakat lokal. Di tengah pusaran digital, Indonesia tampaknya masih mencari titik temu antara ekspresi dan etika.