29 C
Malang
Minggu, Oktober 6, 2024
OpiniPerempuan Berkemajuan di Tengah Krisis Air Bersih

Perempuan Berkemajuan di Tengah Krisis Air Bersih

Alfiah Sufiani

MAKLUMAT – Jawa Timur saat ini menghadapi krisis air yang semakin parah. Berdasarkan data tahun 2023, sebanyak 23 kabupaten/kota di provinsi ini terdampak kekeringan, mencakup 232 kecamatan dan 699 desa/kelurahan yang masuk kategori kering kritis. Artinya, jarak antara rumah warga dengan sumber air terdekat mencapai lebih dari 3 kilometer. Kondisi ini termasuk bencana yang perlu segera ditangani.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur mencatat, hingga September 2024, sebanyak 905 desa di 28 kabupaten/kota terdampak kekeringan. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 268 desa di antaranya berada di Pulau Madura, yang menyumbang 29,61 persen dari total desa terdampak kekeringan di Jawa Timur.

Krisis ini berdampak pada 655.277 kepala keluarga (KK) dengan total 1.664.433 jiwa, yang meliputi kelompok rentan seperti lansia, perempuan, dan anak-anak. Selain itu, data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur pada Agustus 2024 mencatat, kekeringan mengakibatkan 31.588,94 hektare lahan padi mengalami gagal panen, dengan total area puso mencapai 7.666,80 hektare.

Minimnya curah hujan selama musim kemarau berkepanjangan menjadi penyebab utama terbatasnya persediaan air. Sumber air seperti sumur, sungai, waduk, hingga aliran-aliran lainnya mengalami kekeringan. Penurunan kualitas dan kuantitas air sungai pun semakin signifikan. Banyak sungai di Jawa Timur, terutama yang berada di bawah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas dan Bengawan Solo, mengalami pencemaran serius, terutama di sekitar kawasan industri.

Penurunan debit air juga terjadi pada sumber-sumber air di kawasan hulu, seperti Arjuno Welirang. Bahkan, beberapa sumber air di daerah tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Kondisi ini diperparah dengan struktur geologis Madura yang didominasi oleh pegunungan kapur. Hal ini membuat sebagian besar curah hujan di wilayah tersebut langsung terbuang ke laut, bukan tersimpan sebagai air tanah.

Peran Perempuan dalam Pengelolaan Air

Lahirnya Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) dari keputusan Muktamar ‘Aisyiyah ke-47 di Makassar pada 2015 menjadi bukti nyata bahwa perempuan mampu berkontribusi dalam mitigasi krisis air. LLHPB bertujuan mendukung pelestarian lingkungan dan penanggulangan bencana, sebagai wujud tanggung jawab perempuan sebagai pemimpin di muka bumi.

Minimnya akses air bersih bukan hanya memicu kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis, emosional, hingga seksual, terutama terhadap perempuan. Kondisi ini seringkali terjadi baik di dalam rumah tangga maupun di komunitas.

Melalui pendekatan ekofeminisme, pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi, sosial, dan politik diharapkan dapat mempercepat upaya mitigasi perubahan iklim serta konservasi lingkungan. ‘Aisyiyah, misalnya, telah memulai upaya mitigasi krisis air dari tahap kesadaran, inovasi, hingga aksi nyata melalui program Aisyiyah Green.

Aisyiyah Green bertujuan mendorong gaya hidup ramah lingkungan dari lingkup keluarga. Program ini mengajak masyarakat untuk memperluas kawasan tangkapan air dengan gerakan menanam pohon, membuat penampungan air hujan, dan memanfaatkan kembali air yang sudah terpakai. Edukasi tentang hemat air dan pentingnya menjaga kebersihan sumber air terus disosialisasikan kepada komunitas.

Keterlibatan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Permasalahan air tidak hanya terkait dengan krisis iklim, tetapi juga masalah sosial, budaya, ekonomi, dan ketidakadilan. Ketimpangan dalam pengelolaan air disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan sumber air dan infrastruktur penyediaan air bersih.

Perempuan, sebagai pengguna utama air dalam rumah tangga, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan air. Padahal, mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak langsung dari krisis air ini. Beban kerja yang semakin berat, terutama bagi ibu rumah tangga dengan peran ganda, seringkali menimbulkan kerentanan pada perempuan.

Proses advokasi kebijakan terkait perlindungan hak masyarakat atas air harus melibatkan perempuan secara aktif. Pemerintah perlu mengadopsi perspektif keadilan gender dalam penyediaan dan pemanfaatan air bersih, serta melibatkan perempuan dalam seluruh tahapan, mulai dari survei, perencanaan, hingga implementasi program.

Aisyiyah, dengan jaringan organisasi yang kuat di berbagai pelosok, memiliki peran strategis dalam upaya pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait ketersediaan air bersih. Advokasi dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil diharapkan dapat memberikan solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air yang semakin akut ini.

Alfiah Sufiani, penulis adalah Sekretaris Pimpinan Ranting Aisyiyah Nginden, Jangkungan, Sukolilo, Surabaya

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer