28.1 C
Malang
Sabtu, Januari 4, 2025
OpiniPerubahan Format Pilkada untuk Kepentingan Siapa?

Perubahan Format Pilkada untuk Kepentingan Siapa?

MAKLUMAT — Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPRD ini sejatinya isu lama yang didengungkan kembali. Wacana ini pernah disuarakan oleh Pak Gamawan Fauzi yang pada saat itu merupakan Menteri Dalam Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Beliau menyuarakan wacana pemilihan oleh DPRD berbasis pada hasil riset Doktoral beliau.

Pilkada
Penulis: Rifqi Ridlo Phahlevy*

Berdasarkan riset tersebut, pak Gamawan menjelaskan bahwa proses pemilihan kepala daerah oleh rakyat secara langsung memiliki sisi negatif yang potensial kian memburuk. Sistem ini potensi kian transaksional dalam proses Pilkada, serta beberapa dampak buruk lain yang potensial semakin menguat. Rekomendasi beliau saat itu adalah mengembalikan skema Pilkada secara perwakilan melalui DPRD.

Secara pribadi, saya menilai bahwa wacana Pilkada oleh DPRD merupakan aspirasi kelompok yang saat ini berkuasa. Pewacanaan tersebut harus dilihat sebagai upaya dari kubu KIM yang saat ini mendominasi parlemen untuk menguatkan dominasi dan hegemoninya. Tidak hanya di level pemerintah pusat, tetapi juga di level pemerintahan daerah.

Karena pewacaan tersebut lebih didasari oleh aspirasi kekuasaan, maka kiranya tidak relevan untuk meletakkan wacana tersebut dalam diskursus keilmuan dan peradaban.

Dalam kondisi tersebut, peran akademisi dan NGO sangat diperlukan untuk mengajukan argumentasi tandingan guna menjaga kelurusan arah demokrasi yang coba dibajak oleh kelompok berkuasa.

Secara normatif, konsep Pilkada oleh DPRD sejatinya tidak bertentangan dengan konstruksi norma dalam UUD 1945. Karena dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (4) dinyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.

Rumusan norma tersebut hanya menentukan terkait prinsip dan landasan nilai dalam penyelenggaraan Pilkada, bahwa Pilkada harus dilaksanakan secara demokratis berdasarkan nilai dan prinsip demokrasi.

Terkait dengan format dan skema Pilkada yang selaras dengan nilai dan prinsip demokrasi itu harus secara langsung oleh rakyat atau secara perwakilan oleh para wakil rakyat, itu menjadi arena pilihan yang merupakan open legal policy bagi pemerintah dan pembentuk undang-undang.

Dalam hal ini, klaim tentang “demokratis” dikaitkan dengan terlaksananya nilai dan prinsip demokrasi, bukan pada pilihan skemanya. Artinya, baik Pilkada secara langsung oleh Rakyat maupun melaui proses perwakilan oleh anggota DPRD, tidak bertentangan dengan konstitusi, selama penyelenggaraannya selaras dengan prinsip dan nilai demokrasi, yakni partisipasi, keterbukaan dan transparansi, keadilan, perlindungan HAM dll.

Tidak Ada Bedanya

Dalam kondisi normal, penerapan skema Pilkada langsung oleh rakyat atau oleh wakil rakyat kiranya tidak ada bedanya. Selama dilaksanakan sesuai prinsip Pemilu yang harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, skema manapun akan merepresentasikan spirit negara hukum demokrasi.

Namun, hadirnya wacana Pilkada oleh DPRD tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan KIM untuk mengkonsolidasikan kekuasaan politik di seluruh Indonesia di bawah kendalinya. Berdasarkan latar belakang wacana tersebut, asumsi bahwa penerapan Pilkada oleh DPRD akan mengembalikan Indonesia ke era Orde baru bukan sesuatu yang mengada-ada.

Dengan koalisi dominan yang dimiliki oleh KIM, skema Pilkada oleh DPRD akan menjadi alat paling efektif untuk mengontrol sirkulasi kekuasaan di daerah berada di tangannya.

Dampak lebih jauh, dengan kekuasaan politik di daerah yang terkontrol sedari pusat, proses pengambilan kebijakan di daerah akan sepenuhnya dapat dikendalikan dan sesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan pusat ketimbang aspirasi masyarakat di daerah.

Jika skema tata kelola dan kebijakan berjalan demikian, maka era Orde baru dapat dipastikan akan terulang kembali. Sejatinya dengan kedua skema yang berbeda (langsung maupun perwakilan) hak rakyat untuk memilih pemimpinnya tidaklah terkurangi.

Prinsip “Langsung” dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, tidak dapat dibatasi hanya pada makna “mencoblos langsung”. Prinsip “langsung” terkait dengan keterlibatan warga secara bermakna (meaningful participation) dalam proses pemilihan dan pengambilan keputusan pemerintahan.

Skema Pilkada oleh DPRD dapat dinilai sesuai dengan prinsip “langsung”, jika wakil rakyat menjalankan proses pemilihan sesuai aspirasi dan mandat kepentingan rakyat pemilihnya. Namun, dalam kondisi saat ini, di mana demokrasi sudah makin tereduksi oleh money politic, rakyat sejatinya telah kehilangan makna partisipasi politiknya apapun skema pemilihannya.

Jika kita boleh jujur, dengan kultur demokrasi yang transaksional seperti saat ini, kerugian terbesar rakyat jika skema Pilkada dilaksanakan melalui DPRD adalah hilangnya kesempatan rakyat mendapatkan “uang jajan” dari proses Pilkada.

Dengan tradisi politik yang membusuk saat ini, baik melalui Pilkada langsung maupun tidak langsung, suara aspirasi rakyat tidak jauh lebih penting dan tidak lebih didengar dari aspirasi partai dan pendonor calon kepala daerah.

Karena sejatinya partai dan pihak pendonor itulah pemilik saham utama dari jabatan politik seorang kepala daerah. Dalam bahasa ilmiahnya, skema politik yang oligarkhis akan senantiasa lahir dari sistem politik dan ekonomi yang ekstraktif.

Pada dasarnya intensitas politik uang tidak ada kaitannya dengan skema Pilkada langsung atau perwakilan. Politik uang terkait dengan tradisi feodalistik dan ketidaksiapan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menghadapi proses demokrasi yang meniscayakan kompetisi yang terbuka dalam proses perolehan kekuasaan.

Penggunaan uang dalam skema politik uang dilakukan guna mendapatkan keunggulan komparatif secara curang dan tidak bermoral. Dalam konteks ini politik uang beroperasi dalam semua skema, sepanjang para pelaku politik tidak cukup kapasitas selain keuangan untuk memenangkan pertarungan.

Jika takaran tinggi-rendah tingkat politik uang itu hanya ditakar berdasarkan intensitas dan keluasan prakteknya, maka skema pilkada oleh anggota DPRD sejatinya akan mengurangi intensitas dan keluasan praktek politik uang.

Pilkada melalui DPRD dapat dipastikan akan melokalisasi praktek politik uang hanya di level elite partai politik dan lingkup anggota parlemen, baik pusat maupun daerah. Hal itu tentunya akan bertolak belakang dengan realitas politik uang pada masa Pemilu dan Pilkada 2024, di mana politik uang secara masif terjadi di level akar rumput.

Benarkah Lebih Efisien?

Salah satu rekomendasi hasil kajian Gamawan Fauzi saat itu menyatakan bahwa Pilkada melalui wakil rakyat lebih efisien dari segi pembiayaan dibandingkan dengan Pilkada langsung. Di samping itu, potensi konflik horisontal akibat Pilkada lebih dapat dikurangi dan dikendalikan.

Efisiensi yang saya maksudkan disini terkait dengan penggunaan uang negara dan daerah untuk proses Pilkada, namun biaya politik yang dikeluarkan oleh para aktor politik selama proses tersebut belum tentu lebih murah dari skema Pilkada langsung.

Jangan lupakan juga, bahwa ongkos politik para politisi dalam mencapai kekuasaannya akan sepenuhnya ditanggung oleh rakyat dan negara, dengan berbagai bentuknya.

Sejak era yunani, sistem perwakilan sudah menjadi salah satu opsi untuk mengatasi kelemahan demokrasi (rendahnya kualitas keputusan dari mayoritas yang awam). Sistem perwakilan ini masih jadi pilihan yang terbukti efektif dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis, di antaranya di Inggris, Belgia, Malaysia dan Spanyol.

Dua negara yang disebut pertama terbukti sukses menjadi negara demokratis dan mampu mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Tidak ada yang menyangsikan tingkat demokratisasi di beberapa negara tersebut, juga tidak terbantahkan kesuksesan mereka dalam menghasilkan produk politik yang berkualitas.

Artinya problem demokrasi dan efektivitas tata kelola pemerintahan yang demokratis tidak hanya bergantung pada aspek skema pemilihan kepala daerahnya. Lebih dari itu, problem Pilkada sejatinya ada pada kesiapan SDM yang terlibat di dalamnya.

Kesiapan SDM

Ketika SDM kebanyakan orang tidak cukup mampu menjalankan proses demokrasi secara langsung, maka demi efektifitas proses politik sebaiknya dilakukan secara perwakilan. Namun, ketika SDM dirasa sudah mampu menjalankan proses politik kenegaraan secara langsung, maka proses demokrasi langsung adalah opsi yang paling ideal.

Bagi Indonesia saat ini, sistem Pilkada tidak langsung akan lebih mendukung proses politik yang oligarkhis. Hal itu didasarkan atas realitas politik Indonesia yang memperlihatkan bahwa dengan skema Pilkada langsung, di mana setiap orang pada dasarnya bebas menentukan pilihannya secara otonom, praktik oligarkhi sudah berjalan lancar melalui proses jual beli suara.

Politikus yang sebagian besarnya cekak modal yang bersekongkol dengan para pemodal mampu membeli dukungan rakyat guna membangun kerajaan bisnis dan kartel politiknya di daerah.

Praktik Pemilu dan Pilkada 2024 telah memperlihatkan proses pembusukan demokrasi yang berujung pada kelahiran oligarkhi dalam bentuk koalisi tanpa oposisi di tingkat Pusat dan sebagian besar Daerah.

Usaha untuk mengubah sistem Pilkada saat ini sejatinya bukan usaha untuk membuka celah bagi Oligarkhi, karena saat ini Proses Pemilu dan Pilkada yang transaksional kemarin sejatinya telah memberi pintu bagi praktik oligarkhi.

Langkah Memperdalam Kekuasaan

Usaha perubahan itu lebih dimaksudkan untuk memudahkan dan memurahkan langkah kelompok berkuasa dalam memperdalam cengkeraman kekuasaannya. Aspek efisiensi pelaksanaan Pilkada yang dijadikan alasan bagi penerapan sistem ini, sejatinya berkaitan dengan kepentingan kelompok pengusaha yang menjadi sponsor kekuasaan. Efisiensi yang dimaksud tidak lebih dari sekadar memurahkan biaya pemenangan Pilkada.

Dalam kondisi struktur dan kultur demokrasi di Indonesia saat ini, sebaiknya Pilkada dilaksanakan secara langsung, dengan pembaharuan pada aspek regulasi pencalonan. Pilkada langsung secara substantif melibatkan masyarakat luas secara langsung.

Kendati praktik Pilkada lalu suara rakyat mampu dibeli oleh para pasangan calon, setidaknya rakyat dilibatkan secara langsung dalam proses tersebut. Terkait kualitas pilihan yang tidak sepenuhnya otonom, peningkatan kualitas SDM dan praktik buruk politisi yang memuakkan akan mendorong rakyat untuk berpikir lebih bijak dalam memilih ke depan.

Pilihan rakyat akan membaik dan dimungkinkan akan menjauhi politik uang, jika keran pencalonan dibuka seluas yang seharusnya. Ambang batas bagi pencalonan seharusnya ditiadakan untuk membuka opsi bagi komunitas warga mencalonkan tokoh yang diyakini mewakili kepentingannya.

Politik uang yang masif pada Pemilu dan Pilkada 2024 lalu tidak lepas dari realitas politik di mana warga tidak merasa terhubung dengan calon pemimpinnya. Ketika setiap komunitas merasa bahwa ada tokoh yang berasal dari kelompoknya dan/atau mampu mewakili aspirasi dan kepentingannya, partisipasi sadar warga akan dapat didorong secara organik.

* Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, dan Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PWM Jatim.***

spot_img

Ads Banner

Ads Banner

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer