HAMPIR dipastikan bubar sudah koalisi antara Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. Seiring dengan dipastikannya duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan yang diusung Nasdem dan PKB, maka PKS bertahan, tapi Demokrat meradang.
Pilihan Anies dan Surya Paloh untuk menggaet Cak Imin, sapaan Muhaimin, beserta gerbong PKB, dianggap Demokrat sebagai pengkhiatan kepada kesepakatan awal koalisi mereka. Sebab, mulanya Agus Harimurti Yudhoyono yang digadang-gadang sebagai cawapres.
Buntut dari perubahan pilihan politik tersebut, DPP Partai Demokrat dan Tim 8 Demokrat menyampaikan secara terbuka bahwa Anies dan Paloh adalah penghianat. Karena itu, DPP Demokrat memerintahkan semua struktur dan fungsionaris partai menarik dukungan untuk Anies. Semua baliho yang ada gambar Anies dicabut dan diturunkan. Ini adalah bagian dari bentuk kekecewaan Demokrat kepada Anies dan Nasdem.
Sementara PKS belum menunjukkan sikap politik seperti yang ditunjukkan oleh Demokrat. Sebab, sejak awal PKS adalah pendukung Anies, kendati cawapres Anies bukan dari kader PKS. Dukungan PKS kepada Anies adalah dukungan ideologis, bukan dukungan politik pragmatis. Kendati demikian, bukan tidak mungkin PKS akan menarik dukungannya untuk Anies dan Nasdem. Meski saat ini masih terbukti bertahan.
Pertanyaannya, ke mana Demokrat berlabuh? Terdapat dua kemungkinan, yaitu pertama merapat ke Prabowo Subianto, dan kedua merapat ke Ganjar Pranowo. Di antara dua kemungkinan tersebut, Demokrat lebih cenderung dan besar kemungkinan akan bergabung dengan kubu Prabowo dibandingkan merapat atau bergabung dengan Ganjar. Kenapa demikian?
Pertama, hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo relatif baik, tidak ada masalah antara dua tokoh politik ini. Sejauh ini, komunikasi politik SBY dan Prabowo relatif baik. Hal ini tidak terlepas dari latar dan profil dua tokoh ini yang sama sama berangkat dari TNI, yang hal ini berpengaruh pada cara pandang mereka yang relatif sama terhadap persoalan kebangsaan. Selain faktor ini, tentu ada faktor lain.
Kedua, hubungan SBY dan Jokowi semakin membaik; tidak ada masalah yang esensial antara dua tokoh ini. Apa kaitannya dengan Jokowi? Terbentuknya koalisi untuk Indonesia maju tidak terlepas dari Jokowi. Bergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo sulit untuk mengatakan Jokowi tidak ikut mengatur di dalamnya. Apalagi beberapa waktu lalu Jokowi bilang “cawe cawe politik boleh juga.” Yang selanjutnya diperkuat oleh narasi SBY dalam buku yang ditulisnya “tidak apa apa presiden cawe cawe dalam soal politik demi kepentingan bangsa dan negara.” Jokowi mendukung Prabowo dan partai koalisi untuk Indonesia maju. Artinya, hubungan baik SBY dan Jokowi memungkinkan Demokrat akan berlabuh pada kubu Prabowo.
Ketiga, hubungan SBY dan Megawati hingga saat ini masih belum membaik, belum ada situasi di mana SBY dan Mega menunjukkan hubungan baik. Meskipun Puan dan AHY tidak ada masalah di antara mereka, artinya hubungan mereka baik, dan meskipun hubungan Ganjar dan AHY juga baik, namun hubungan baik antara AHY, Puan, dan Ganjar tidak cukup untuk mengantarkan langkah politik Demokrat berlabuh ke Ganjar dan PDIP.
Keempat, basis massa Demokrat dan PDIP relatif sulit disolidkan menjadi satu kesatuan sebagai kekuatan politik untuk memenangkan Pilpres. Sebab, kutub ideologi partai Demokrat dan PDIP sedikit jauh beda. Meskipun alasan ini sangat cair, artinya tidak dapat dijadikan sebagai alasan kuat untuk mengatakan Demokrat dan PDIP tidak dapat berkoalisi, namun sejarah politik menunjukkan bahwa selama SBY sebagai Presiden RI selama itu pula PDIP mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan SBY dan politik kebijakan Demokrat. Sejarah politik PDIP dan Demokrat menciptakan gesekan konstituen yang tajam di akar rumput.
Kelima, berdasarkan analisa pada poin pertama hingga keempat di atas, menegaskan bahwa petinggi Demokrat, SBY, dan AHY berpotensi akan bergabung pada koalisi untuk Indonesia Maju bersama Gerindra, Golkar, dan PAN. Bagaimana jika nanti Prabowo tidak memilih AHY sebagai cawapres?
Tentu situasi politik seperti ini, SBY, AHY, dan petinggi Demokrat akan bersikap rasional; mereka tidak menuntut dan berharap AHY menjadi cawapres Prabowo. Mereka akan bersikap sebagai bagian dari partai koalisi yang terlebih dahulu fokus memenangkan Prabowo. Selebihnya, jika nanti Prabowo memenangkan pilpres setidaknya Demokrat menjadi bagian dari partai pemerintah, yang selama dua periode presiden terakhir mereka abaikan, dan itu tidak menguntungkan mereka secara politik.
Keenam, apakah PKS juga akan pindah haluan? Seperti analisa di awal tulisan ini bawah sikap politik PKS tidak menunjukan sikap reaktif apalagi sikap “melawan” seperti yang dilakukan oleh Demokrat terhadap Anies dan Nasdem. Kenapa demikian? Sebab, PKS sejak awal telah menyadari bahwa kader PKS belum ada yang cukup populer dan kuat secara elektabilitas untuk menjadi cawapres. Menyadari situasi internal yang demikian, PKS legowo dengan siapapun cawapres yang dipilih Anies. Apakah sikap PKS tetap sama, walau Anies dan Nasdem pada akhirnya memilih Cak Imin sebagai Cawapres, bukan AHY seperti digadang-gadang di awal koalisi perubahan terbentuk? Ada dua kemungkinan sikap PKS nantinya, yaitu pertama PKS akan setia mendukung Anies dan Nasdem, dan kedua PKS mungkin beralih ke Prabowo, meski kecil kemungkinan itu.
Kedelapan, PKS akan setia mendukung Anies dan Nasdem bersama pasangan nya, yaitu Cak Imin sebagai cawapres. Kemungkinan ini disebabkan oleh dua alasan utama, yaitu pertama, PKS merupakan partai kader yang sulit keluar dari komitmen awal. Artinya, komitmen awal adalah menentukan sikap partai selanjutnya, apapun konsekuensinya. Sikap seperti ini baik bagi partai namun kadang menjadi penghambat partai dapat bertahan dalam dinamika politik. Kedua, koalisi PKS dibangun berdasarkan kepentingan ideologis. Secara Ideologis, Anies adalah Capres yang relatif nyambung dengan PKS dibandingkan Prabowo dan Ganjar.
Meskipun demikian, politik selalu berubah dalam situasi yang tidak disangka sangka. Bisa jadi Demokrat tidak berlabuh ke mana-mana; tidak ke Prabowo, tidak pula ke Ganjar. Tidak menutup kemungkinan Demokrat bersikap netral, tidak mendukung pasangan capres; Demokrat hanya fokus memenangkan pemilihan legislatif. Atau bisa jadi PKS membujuk Demokrat membentuk poros baru. Semua bisa terjadi dalam politik. (*)
Dr. Salahudin, S.IP., M.Si., Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang