MAKLUMAT – Polemik PPN 12% belum tuntas. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan PPN 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Ia menilai kebijakan tersebut harus berbasis keadilan sosial agar tidak membebani masyarakat kecil dan pelaku usaha menengah ke bawah.
“(Soal PPN 12%) Perlu betul-betul dikaji ulang, sehingga kebijakan pajak juga memperhatikan aspek keadilan sosial,” kata Haedar kepada wartawan yang mencegatnya seusai menghadiri acara Dies Natalis UGM di Grha Sabha Pramana, Sleman, Kamis (19/12/2024).
Haedar menjelaskan bahwa kebijakan pajak di Indonesia erat kaitannya dengan kondisi masyarakat. Ia berharap kebijakan baru ini tidak justru menghambat semangat kemajuan di berbagai sektor, khususnya institusi yang tidak bergerak dalam bisnis berskala besar.
“Kebijakan pajak jangan sampai menghambat spirit kemajuan setiap elemen masyarakat, terutama mereka yang tidak sepenuhnya berada di dunia bisnis besar,” tegasnya.
Kenaikan PPN Mulai 1 Januari 2025
Sebagai bahan innformasi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan kenaikan tarif PPN menjadi 12% sesuai jadwal yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Sesuai amanat UU HPP, tarif PPN akan naik menjadi 12% per 1 Januari 2025,” kata Airlangga dalam konferensi pers, Senin (16/12/2024).
Airlangga menyebut pemerintah telah menyiapkan berbagai stimulus untuk melindungi daya beli masyarakat. Salah satunya adalah subsidi PPN sebesar 1%untuk rumah tangga berpendapatan rendah, sehingga hanya membayar tarif sebesar 11%.
“Barang-barang pokok seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri dikenakan tarif 11 persen untuk menjaga daya beli masyarakat,” jelas Airlangga.
Selain itu, sejumlah barang dan jasa tetap dibebaskan dari PPN, seperti beras, daging, susu, sayur, serta jasa pendidikan dan angkutan umum. Airlangga menegaskan bahwa pemerintah fokus menjaga agar barang kebutuhan esensial tetap terjangkau.
“Barang-barang seperti beras, ikan, telur, dan sayur bebas PPN untuk mendukung masyarakat luas,” tegasnya.
Polemik Masih Berlanjut
Kebijakan kenaikan PPN ini terus menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah menilai langkah ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan. Namun di sisi lain, sejumlah pihak, termasuk Muhammadiyah, mengingatkan agar pemerintah lebih bijak dalam implementasinya.
“Policy pajak di Indonesia harus sejalan dengan kondisi kehidupan bangsa dan cita-cita keadilan sosial,” kata Haedar.
Pemerintah juga menyiapkan berbagai bantuan tambahan, seperti diskon listrik 50% untuk rumah tangga dengan daya di bawah 2200 VA, bantuan beras untuk kelompok ekonomi lemah, hingga insentif pajak bagi industri padat karya.
Meski demikian, suara kritis tetap muncul, khususnya terkait potensi dampak kebijakan ini terhadap pelaku usaha kecil dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Polemik PPN 12% diprediksi akan terus menjadi perdebatan hingga waktu pemberlakuannya tiba.