KETUA Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr phil Ridho Al-Hamdi mendorong kader Muhammadiyah yang memiliki passion politik untuk berdiaspora ke berbagai sektor kebangsaan.
Sebab, Persyarikatan Muhammadiyah tidak akan memiliki pengaruh besar dalam kebijakan politik jika kader Persyarikatan tidak bertebaran di ranah politik.
“Saya ingin mengapresiasi para kader Muhammadiyah di ranah politik praktis ini. Sebenarnya, mereka ini kinerjanya tidak memerlukan dan mengharapkan pujian, tapi mbok ya jangan dicaci maki atau disudutkan cuma karena terjun di dunia politik. Apalagi, cuma karena berbeda partainya atau pilihannya,” katanya dalam Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) LHKP PWM Jatim di Hotel Aston Gresik, Ahad (4/6/2023).
Ridho lalu menganalogikan, kader Persyarikatan yang terjun ke panggung politik, termasuk yang berkecimpung di LHKP, ibarat orang yang seksi. “Orang seksi itu kan banyak yang menyorot, banyak yang melirik dan banyak yang suka. Tapi, juga banyak yang iri dan benci,” ujarnya disambut gelak tawa para peserta Rakerwil.
Menurut Ridho, pandangan negatif terhadap politik itu lantaran sebagian besar warga Muhammadiyah tidak suka bila Muhammadiyah dikait-kaitkan atau dihubung-hubungkan dengan aktivitas politik praktis.
“Nah, LHKP yang statusnya adalah sebagai UPP (Unsur Pembantu Pimpinan), diharapkan bisa mengubah pandangan tersebut dan kemudian mampu mengambil peran dan langkah-langkah strategis, terlebih dalam momentum Pemilu dan Pilkada serentak 2024 mendatang,” jelasnya.
Tapi, Ridho mengingatkan, supaya kader yang aktif di politik praktis tidak melanggar aturan ataupun ketentuan di internal Muhammadiyah itu sendiri, yakni seperti khittah Ujung Pandang. “Muhammadiyah memang secara kelembagaan, secara organisasi, memang tidak terlibat langsung dukung-mendukung itu,” tegasnya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu melanjutkan, meski terikat oleh khittah Ujung Pandang itu, pada Muktamar Solo ternyata mengamanatkan diaspora kader-kader Muhammadiyah ke sektor-sektor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
“Kita tetap berpegang pada khittah Ujungpandang, tapi juga harus bisa mendiasporakan kader-kader terbaiknya, maka LHKP harus bisa menjadi navigator untuk mengarahkannya,” imbuh alumnus TU Dortmund University, Jerman itu.
Ridho menegaskan, apapun partai politik (parpol) yang menjadi pilihan kader Muhammadiyah berdiaspora, bukanlah sebuah permasalahan. Apalagi dijadikan sebagai alasan untuk perpecahan di tataran internal Muhammadiyah.
“Yang terpenting kan meskipun berbeda partai antar kader itu, tapi harus tetap dalam satu koridor tujuan, visi dan misi yang sejalan untuk kepentingan dan kemaslahatan yang lebih luas, termasuk bagi kepentingan persyarikatan,” ungkapnya.
Maka, Ridho berpendapat, dalam berpolitik membutuhkan sikap yang luwes, sikap yang bijak dan tidak asal men-judge atau menghakimi benar atau salah. Sebab, politik bukan berarti hitam atau putih saja. “Harus luwes dan harus bisa bersikap bijaksana. Jangan asal men-judge si A benar atau si B salah,” terang pria yang menginisiasi PUSDEPPOL (Pusat Studi Demokrasi, Pemilu dan Partai Politik).
Ridho menambahkan, Muhammadiyah dengan politik praktis memang harus menjaga jarak yang sama dengan semua parpol, tapi juga bersikap luwes dan bisa kooperatif dengan semuanya. “Sehingga memiliki potensi pengaruh yang lebih besar dalam ranah pembentukan kebijakan-kebijakan publik,” paparnya.
Tak lupa, Ia mengajak, warga Muhammadiyah supaya lebih cermat dan cerdas dalam membaca informasi serta bisa lepas dari framing yang dilakukan oleh media-media. “Itu kan framing media, jadi kita harus cerdas bisa membaca informasi dan upaya framing-framing itu,” pungkasnya.(*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto