25.7 C
Malang
Sabtu, November 23, 2024
KilasPolitik Muhammadiyah Itu Tidak Ekstrim Kiri Atau Kanan

Politik Muhammadiyah Itu Tidak Ekstrim Kiri Atau Kanan

Ketua LHKP PWM Jatim Muhammad Mirdasy

APAKAH boleh seseorang berpolitik dengan cara memberi iming-iming? Pertanyaan itu dilontarkan oleh Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Muhammad Mirdasy ketika menjadi pembicara acara Madrasah Politik, Sabtu (8/7/2023).

Kegiatan yang diadakan oleh Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Kota Surabaya tersebut berlangsung di Ruang Kelas Gedung SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Puluhan aktivis IMM tampak antusias mengikuti agenda tersebut.

Mirdas, begitu ia karib disapa mengatakan, memberi iming-iming adalah bagian dari cara berpolitik, yang dalam agama Islam diistilahkan sebagai as siyasah. Yakni, proses bagaimana mempengaruhi orang lain.

“Coba kita cermati, para Nabi erat kaitannya dengan as siyasah, yakni bagaimana mempengaruhi orang lain. Dan tugas para Nabi itu adalah berdakwah, dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain supaya mau bertauhid atau menyembah Allah SWT, berbuat kebaikan dan kebajikan,” jelasnya.

Meski, kata Mirdas, terdapat perbedaan antara cara mempengaruhi yang dianjurkan oleh agama Islam dengan politik secara umum. Yakni, proses mempengaruhi orang lain alias berdakwah dalam agama Islam tidak boleh dilakukan dengan jalan pemaksaan.

Sebaliknya, dalam politik, proses mempengaruhi orang bisa dan biasa dilakukan dengan unsur pemaksaan. Juga ada unsur manipulatif. “Nah, disitulah letak perbedaannya,” urainya.

Maka dari itu, Mirdas mengharuskan, kader IMM belajar untuk bisa mempengaruhi orang lain. “Kader IMM memiliki kewajiban untuk bisa mempengaruhi dan mengajak orang supaya berbuat dan menjadi baik. Jangan jadi kader sendirian saja di komisariat. Harus bisa mengajak yang lain dan harus berkembang,” serunya.

Lebih lanjut, Mantan Ketua PWPM Jatim itu mengungkapkan, saat ini tidak ada sesuatu hal yang terbebas dari unsur politik. Bahkan ketika seseorang bangun tidur sekalipun, tidak lepas dari unsur politik. Dicontohkan dalam pemilihan dan pemakaian pasta gigi, misalnya, ada unsur politik.

Pun demikian dengan ijin praktik seorang dokter dan pendirian fakultas kedokteran, pendirian lembaga pendidikan dan pendirian pabrik pasta gigi atau lainnya, haruslah berijin. “Nah, ijin itu adalah hasil kebijakan politik atau produk dari politik. Jadi, segala hal itu erat kaitannya dengan politik,” ungkapnya.

Mirdas menambahkan, menengok sejarah berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah, misalnya, juga tidak lepas dan membutuhkan atribut, strategi serta perjuangan politik. Sebab, KH. Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton, yang saat ini bisa disebut sebagai ASN.

Selain itu, kondisi Indonesia pada waktu itu masih dalam belenggu penjajahan Belanda. Sehingga proses pendirian Persyarikatan Muhammadiyah haruslah seijin pemerintah kolonial Belanda. Juga harus memperoleh ijin keraton.

Meski kondisinya demikian, pendiri Persyarikatan yang merupakan abdi dalem keraton itu tidak pernah kehilangan sikap kritisnya terhadap penjajahan pemerintah Belanda.

“KH. Ahmad Dahlan melawan penjajahan Belanda tidak dengan cara frontal berhadapan dengan kekuasaan. Beliau juga tidak menjauhi kekuasaan. Meski beliau tegas menyatakan bahwa Belanda adalah penjajah yang harus diusir dari bumi Indonesia, tapi beliau tetap masuk dan mau belajar bagaimana model pendidikan Belanda. Itu dilakukan sebagai upaya untuk membuat anak bangsa bisa mendapatkan pendidikan, agar kita dapat pencerahan,” terangnya

Sikap Politik KH. Ahmad Dahlan yang berada di tengah itulah yang membuatnya bisa diterima oleh berbagai pihak. Tak terkecuali oleh penjajah Belanda. “Sejatinya mengambil sikap ekstrim kiri adalah politis. Mengambil sikap ekstrim kanan juga politis. Pun demikian dengan Tengahan, juga sikap politis. Namun, KH. Ahmad Dahlan mengambil sikap politik tengahan itu,” urainya.

Dulu, Ia menuturkan, terdapat pandangan bahwa setiap hal yang sama alias meniru cara-cara Belanda disebut sebagai kafir. Sehingga KH. Ahmad Dahlan dituduh kafir. Sebaliknya, ada pihak yang berpandangan bahwa mengikuti Belanda itu enak. Sehingga mereka tidak merasa sedang dijajah oleh Belanda.

“Nah, KH. Ahmad Dahlan berpandangan perlu belajar model pendidikan Belanda. Hal itu untuk dipakai menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa sejatinya bangsa kita sedang dijajah. Semua itu adalah sikap politik Muhammadiyah,” tandasnya.(*)

Reporter: Ubay

Editor: Aan Hariyanto

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer