Politik Nilai dan Masa Depan Golkar

Politik Nilai dan Masa Depan Golkar

MAKLUMAT — Pidato Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam pembukaan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta pada Sabtu (20/12) lalu menyuguhkan sesuatu yang jarang muncul dalam pidato elite partai politik hari ini, yakni penekanan pada politik nilai, bukan semata politik kekuasaan.

Politik Nilai Golkar
M. Fauzan Irvan

Di tengah iklim politik yang kerap pragmatis, personalistik, dan transaksional, Bahlil justru mengajak kader Golkar yang hadir dalam forum Rapimnas untuk kembali berbicara tentang ideologi, etika, dan marwah partai sebagai aset bangsa.

Sejak awal pidato, Bahlil tidak langsung masuk pada target elektoral atau strategi teknis. Ia memilih mengajak kader menengok sejarah Golkar pada awal kelahirannya. Bahlil menegaskan bahwa Golkar lahir dari rahim rakyat Indonesia. Banyak unsur fungsional yang menjadi pembentuk kelahirannya. TNI, birokrasi, pemuda, organisasi mahasiswa, nelayan, petani, profesional, hingga kelompok perempuan adalah barisan panjang golongan fungsional yang memiliki peran penting dalam kelahiran Golkar.

Tarikan awal pidato Bahlil ini bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia merupakan fondasi nilai bahwa Golkar sejak awal dimaksudkan sebagai partai inklusif, partai yang terbuka bagi semua golongan, dan bukan milik segelintir elite atau kelompok tertentu.

Dalam konteks politik nilai, sejarah bukan sekadar cerita, melainkan kompas moral. Ketika Bahlil menegaskan bahwa Golkar lahir untuk mempertahankan ideologi Pancasila dari ancaman ideologi lain, ia seolah mengingatkan para kader Golkar bahwa politik bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan tentang apa yang diperjuangkan bagi kepentingan rakyat. Golkar, dalam pandangan ini, tidak boleh terjebak menjadi mesin kekuasaan tanpa nilai, sebab kehilangan nilai berarti kehilangan legitimasi moral.

Baca Juga  Puasa Melawan Angkuh Diri

Politik nilai ala Bahlil semakin tampak ketika ia secara terbuka mengkritik praktik internal partai yang mengarah pada personalisme. Penulis mengutip sebagian pernyataannya, “Jangan lagi ada cara-cara seolah-olah kita harus mengurus orang per orang. Partai ini adalah milik kita bersama. Partai ini adalah aset negara.”

Pernyataan tersebut merupakan kritik langsung terhadap budaya patronase dalam tubuh Partai Golkar yang selama ini kerap menjadikan partai sebagai alat untuk mengurus kepentingan individu. Kritik ini penting untuk direfleksikan bersama oleh seluruh kader Partai Golkar di mana pun berada. Sebab, menurut pengamatan penulis, politik yang berangkat dari pengurusan orang per orang pada akhirnya akan menjauh dari kepentingan rakyat.

Dalam perspektif nilai, partai politik seharusnya menjadi institusi, bukan perpanjangan tangan elite partai. Ketika partai dikelola dan ditunggangi untuk kepentingan pribadi—misalnya dengan memanfaatkan jabatan yang dimiliki elite partai—maka ideologi partai tinggal menjadi slogan belaka.

Jika demikian keadaannya, partai dapat diibaratkan seperti jasad tanpa ruh. Melalui pidatonya, Bahlil secara tegas menempatkan Golkar sebagai aset negara, yang berarti harus dijaga marwah dan orientasinya untuk kepentingan bangsa, bukan untuk segelintir orang.

Aspek lain dari politik nilai ala Bahlil terlihat dari penolakannya terhadap feodalisme dan kultus individu. Dalam pidatonya yang berdurasi sekitar 36 menit, ucapannya, “Setiap masa ada pemimpinnya,” mengandung pesan regenerasi yang kuat. Ia mengingatkan agar elite lama tidak terus merasa berhak mengendalikan partai meskipun masa kepemimpinannya telah berlalu. Dalam politik nilai, kepemimpinan adalah amanah yang berbatas waktu, bukan hak seumur hidup.

Baca Juga  Caleg KaderMu Terbuka Bagi yang Dekat dengan Muhammadiyah

Penegasan tentang “generasi baru Golkar” menandai upaya membangun etos politik yang lebih sehat. Regenerasi tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai syarat keberlanjutan. Partai yang menutup ruang bagi generasi baru akan mandek secara ideologis dan organisatoris. Di titik ini, Bahlil menempatkan keberanian memutus kebiasaan lama sebagai bagian dari nilai kepemimpinan.

Politik nilai juga tercermin dalam sikapnya terhadap mekanisme organisasi. Bahlil menolak pengambilan keputusan berbasis kehendak individu dan menekankan pentingnya AD/ART, Rapimnas, Munas, serta forum resmi partai. Hal ini bukan sekadar soal prosedur, melainkan etika berpolitik. Kepatuhan pada mekanisme merupakan wujud penghormatan terhadap kolektivitas dan demokrasi internal.

Lebih jauh, politik nilai ala Bahlil menolak janji kosong dan simbolisme tanpa eksekusi. Pengalamannya sebagai bendahara partai membuatnya peka terhadap luka struktural di daerah akibat janji pusat yang tidak ditepati. Dalam kerangka nilai, janji yang tidak dilaksanakan bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan pelanggaran moral. Politik kesejahteraan yang ia dorong menuntut kerja nyata, bukan sekadar retorika.

Pidato Bahlil pada Rapimnas Partai Golkar juga memperlihatkan upaya mengembalikan perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang sehat. Ia membuka ruang kritik dalam forum resmi dan menolak kebiasaan “berisik di luar, diam di dalam”.

Dalam politik nilai, perbedaan bukanlah musuh persatuan, melainkan bagian dari proses demokrasi yang sehat, di mana ide-ide saling berbenturan untuk mencari solusi terbaik atas persoalan. Yang berbahaya bukanlah perbedaan itu sendiri, melainkan ketidakjujuran dan permainan politik yang kerap dilakukan di belakang layar.

Baca Juga  Trending Save Raja Ampat Mencuat, Ada Apa Sebenarnya?

Sebagai penutup, penulis memandang bahwa politik nilai ala Bahlil Lahadalia merupakan ajakan untuk menempatkan partai politik kembali pada fungsi dasarnya, yakni sebagai alat perjuangan ideologi dan sarana memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Target elektoral memang penting, tetapi tanpa nilai, kemenangan akan terasa hampa. Partai Golkar, dengan sejarah dan kekuatan yang dimilikinya, memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa politik yang berlandaskan nilai masih relevan dan dibutuhkan hingga kapan pun.

Apabila politik nilai ini dijalankan secara konsisten oleh seluruh kader Partai Golkar di mana pun berada—bukan hanya dituturkan dalam pidato-pidato, melainkan diterapkan dalam praktik organisasi dan kebijakan partai—maka Partai Golkar tidak hanya berpeluang menang dalam kontestasi Pemilu 2029, tetapi juga berkontribusi nyata dalam memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia.

Pada akhirnya, politik nilai bukan tentang siapa yang paling kuat, melainkan tentang siapa yang paling bertanggung jawab terhadap arah perjalanan bangsa dan negara agar tetap setia pada cita-cita bersama. Demikian.

*) Artikel di atas sudah dipublikasikan oleh laman Golkarpedia.***

*) Penulis: M. Fauzan Irvan
Ketua AMPG DKI Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *