33.6 C
Malang
Rabu, Oktober 30, 2024
OpiniPolitik Uang

Politik Uang

Nur Cholis Huda, Penulis adalah Mantan Wakil Ketua PWM Jawa Timur.

SEORANG aktivis PKK sedang menjelaskan tentang pencegahan demam berdarah. Menjelang musim hujan kadang muncul serangan demam berdarah. Tiba-tiba seorang ibu bertanya yang tidak ada hubungannya  dengan soal demam berdarah. “Kalau nanti kami pilih bu Wiwik, kami dapat apa?”

Deg! Bu Wiwik kaget. Apalagi yang bertanya itu kawannya sendiri. Sekretaris PKK. Bu Wiwik memang sedang menjadi caleg. Sungguh tidak pernah terbayang pertanyaan itu keluar dari sahabatnya. Suasana jadi riuh. Semua sepertinya mendukung pertanyaan sahabatnya itu. Untung Bu Wiwik cepat menguasai keadaan. Tidak mungkin penjelasan tentang demam berdarah dilanjutkan. Fokusnya sudah berbelok. Dibelokkan pertanyaan kawannya tadi.

Semula kawannya itu akan diajak Bu Wiwik memerangi politik uang. Petama, karena Bu Wiwik tidak setuju dengan serangan fajar. Kedua, dia tidak cukup modal untuk melakukan politik uang. Modalnya pas-pasan. Ketiga, kawannya mudah dipahamkan bahaya politik uang. Tetapi justru kawannya bertanya duluan “nanti dapat apa”.

“Ibu-ibu pernah dengar Serangan Fajar? Tahu Serangan Fajar?” tiba-tiba Bu Wiwik bertanya kepada mereka. Ia membelokkan pembicaraan seakan mengikuti pembicaaan yang sedang muncul. Suasana tak mungkin lagi menerangkan demam berdarah. Kalah menarik dengan pertanyaan nanti dapat apa. Jika kawannya saja berpikir nanti dapat apa, kemungkinan besar orng-orang lain juga berpikir serupa. Ibu-ibu tahu serangan fajar? tanya bu Wiwik.

“Tahu!” Jawab Bu RT. “Bagi-bagi uang dekat coblosan”

“Bolehkah Serangan Fajar itu?”

“Tidak boleh kalau ketahuan. Boleh kalau tidak ketahuan,”sahut seorang ibu

“Lumayan lo Bu. Kadang kita dapat lebih dari satu orang,” kata yang lain.

“Ada yang pernah menerima Serangan Fajar lebih dari satu orang  ?” tanya Bu Wiwik.

Mula-mula satu orang  yang angkat tangan. Lalu dua, tiga, empat dan banyak lagi. Maka Bu Wiwik berkesimpulan politik uang sudah menyebar luas di masyarakat. Bahkan masyarakat berharap dapat uang itu. Masih adakah cara untuk menghentikannya?

Politik uang terjadi karena tiga faktor. Pertama: Ada yang ingin menang dengan segala cara, termasuk dengan membeli suara. Sementara petugas pengawas (Bawaslu) tidak berdaya. Kedua: Banyak pemilih yang miskin sehingga uang itu sangat berharga. Ketiga: Pemilih kita juga banyak yang awam dan berpendidikan rendah. Tidak tamat kelas tujuh atau SMP. Maka dia menghargai murah pada dirinya dan suara yang dimiliki.

Ada yang mengingatkan bahwa politik uang itu haram karena sama dengan suap. Yang menyuap dan terima suap sama-sama masuk neraka. Tapi mereka membantah disamakan dengan suap. Yang memberi mengatakan uang sedekah. Bukan suap. “Masak sedekah itu haram. Yang memberi juga tidak berkata minta dipilih”.  Kini menjadi anggota legislatif teryata tidak hanya cukup modal kuliatas. Teapi juga isi tas. Berapa banyak isi tas Anda akan ikut menentukan berapa suara yang akan Anda dapatkan.

Politik uang itu seperti rayap menghancurkan kayu. Diam tanpa suara tetapi akan menghancurkan semua sendi kayu demokrasi.  Pendidikan politik kepada masyarakat sudah hancur. Kesadaran bahwa mereka punya hak suara digantikan perasaan bahwa mereka punya hak menerima uang.  Dengan suara yang dimiliki mereka bisa ikut menentukan masa depan, berubah menjadi ikut menentukan besar kecilnya uang politik.

Bahwa setiap lima tahun sekali mereka berhak mengoreksi keadaan pemerintah dan wakil rakyat, kini  berubah menjadi setiap lima tahun sekali mereka menunggu jatah menerima uang politik. Pilihan mereka yang semula ditentukan suara hati nurani berubah ditentukan besar kecilnya uang politik yang diterima. Sungguh uang poliitik menghancurkan sendi-sendi utama demokrasi.

Masih adakah harapan politik uang bisa dihentikan?  Masih bisa! Tergantung kesungguhan kemauan politik pemerintah. Kalau hanya dengan sambil lalu, maka politik uang tidak akan bisa dihentikan.  Apalagi menganggap hal biasa. Bunga-bunga dalam Pemilu. Percik-percik kecil  yang hanya muncul sesaat. Kalau saja ada dua atau tiga orang yang dibawa ke meja hijau, dibatalkan pencalonannya, mungkin ada rasa jera. Setidaknya akan sangat mengerem laju politik uang.

Politik uang seperti rayap. Diam tidak gegap gempita tapi daya rusaknya nyata. Namun tetap bisa dihentikan kalau ada kamauan politik pemerintah.*

Nur Cholis Huda, Penulis adalah Mantan Wakil Ketua PWM Jawa Timur

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah MATAN edisi 211 (Februari2024)

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer