MAKLUMAT – Sejarah panjang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pernah mengukir jejak penting dalam politik Indonesia. Berdiri pada 1973 dari fusi empat partai Islam—NU, Parmusi, PSII, dan Perti—PPP menjadi kendaraan politik umat. Dari era Orde Baru hingga Reformasi, PPP selalu punya kursi di parlemen.
Namun Pemilu 2024 menghadirkan kenyataan pahit. Untuk pertama kalinya dalam lima dekade, PPP gagal lolos ke Senayan. Hanya 3,8 persen suara diraih, jauh di bawah ambang batas parlemen 4 persen. Titik nadir ini menjadi tamparan keras sekaligus ancaman eksistensial.
Kini menjelang Muktamar X PPP pada 27-29 September 2025 di Jakarta, sorotan tertuju pada kursi Ketua Umum. Alih-alih fokus menyusun strategi kebangkitan, partai justru kembali terseret ke pola lama: konflik internal, manuver elite, dan perebutan kuasa.
Mardiono dan Bayang-Bayang Kegagalan
Plt Ketua Umum Muhammad Mardiono berada di pusat pusaran. Sebagai nakhoda terakhir, ia dianggap gagal membawa PPP melewati palang pintu parlemen. Forum Musyawarah Nasional Ulama di Cirebon, yang dihadiri KH Mustofa Aqil Siraj dan Romahurmuziy, terang-terangan meminta Mardiono tidak maju lagi.
Namun Mardiono tetap bergerak. Ia sowan ke kiai, menggalang dukungan daerah, dan mengirim sinyal siap melanjutkan kepemimpinan.
Figur Lama dan Harapan Baru
Nama lain pun muncul. Husnan Bay Fanani, mantan Wasekjen PPP yang kini memimpin Parmusi mencoba kembali. Ada pula M Idror Maimoen, putra ulama karismatik KH Maimoen Zubair dan elite internal seperti Amir Uskara, Arwani Thomafi, dan Taj Yasin Maimoen.
Dari luar partai, bayang-bayang figur nasional seperti Sandiaga Uno, Saifullah Yusuf dan Amran Sulaiman ikut memanaskan spekulasi.
Muncul pula wacana mengubah AD/ART agar tokoh eksternal bisa masuk gelanggang. Jika itu terjadi, pertarungan kursi ketum akan makin terbuka dan liar.
Bukan Sekadar Soal Figur
Namun pertanyaan mendasarnya: apakah pergantian figur cukup menyelamatkan PPP? Pengamat politik BRIN, Firman Noor menilai masalah PPP jauh lebih struktural. Aturan partai mudah di”pelintir” sesuai kepentingan kubu. Konflik internal dibiarkan berlarut. Intervensi pemerintah pun kerap memperkeruh suasana.
Suara PPP pun anjlok di Pemilu. Dari 10,7 persen suara pada 1999, 8,1 persen pada 2004, hingga jeblok ke 3,8 persen pada 2024. Tren yang konsisten menurun ini tak bisa dibantah.
Partai Islam di Ambang Senjakala
PPP kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang lahirnya pemimpin baru yang mampu memulihkan kepercayaan umat dan memperbaiki mesin partai. Di sisi lain, ada risiko PPP kembali terjebak dalam siklus konflik internal yang membuat partai kian tenggelam.
Jika PPP gagal bangkit dari Muktamar X, partai Islam pertama yang hilang dari Senayan bisa benar-benar hilang dari panggung politik nasional. Senjakala yang dulu hanya bayangan, kini nyata di depan mata.
Muktamar kali ini bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi ketua umum. Ia adalah ujian eksistensi. Apakah PPP mampu melahirkan pembaruan, atau rela dicatat hanya sebagai catatan kaki dalam sejarah politik Indonesia.