SUDAH jatuh tertimpa tangga pula. Sudah tidak lolos parlemen, berseteru pula. Kiasan itu seolah pas menggambarkan kondisi internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang lagi kisruh. Situasi itu terjadi gara-gara PPP sudah dipastikan tidak lagi memiliki wakil di DPR RI.
Kini, para elit PPP saling berseteru. Saling tuding. Saling menyalahkan. Saling mencari kambing hitam atas kegagalan partai berlogo Ka’bah ini tak lolos ke Senayan, gedung anggota DPR RI di Jakarta. Awan gelap pun sedang menyelimuti PPP. Partai warisan orde baru ini untuk pertama kalinya tak lolos parlemen. Sejak era reformasi tentunya.
Maklum, dalam pemilihan anggota legislatif (Pileg) pada 14 Februari 2024 lalu, PPP hanya mampu meraup 5.878.777 suara sah nasional. Jika dipersentase hanya 3,87 persen. Konsekuensinya, PPP gagal lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang telah ditetapkan sebesar 4 persen.
Calon anggota legislatif (Caleg) DPR RI dari PPP yang terpilih dan seharusnya duduk menjadi anggota dewan, akhirnya harus gigit jari lantaran dipastikan gagal dilantik. Suara mereka hangus, dan kursinya harus diberikan kepada caleg partai lain yang lolos abang batas parlemen.
Atas hasil tidak menyenangkan itu, PPP tidak tinggal diam. Mereka ogah menerima nasib kurang baik. PPP kemudian mengajukan gugatan sengketa atas hasil Pileg 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya itu ditempuh tidak lain supaya PPP bisa tetap masuk parlemen.
Sejumlah dalih dan bukti pun disiapkan PPP untuk memuluskan niat. Serangkaian persidangan di MK diikuti PPP dengan seksama. Optimisme ditumbuhkan. PPP dalam gugatan mengklaim telah terjadi perpindahan suara dari partainya ke partai lainnya di sejumlah daerah. Mereka juga menuding ada suara PPP yang dicuri atau dikurangi.
Namun, takdir berkata lain. Sayangnya upaya PPP lolos ke ke Senayan melalui jalur MK nyatanya juga gagal. Gugatan PPP banyak berguguran alias tidak diterima oleh MK. Situasi tersebut berujung pada kabar kegagalan PPP yang tidak lolos ambang batas parlemen.
Ketidaklolosan PPP ternyata memantik prahara di internal partai. Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak tahun 2024, ribut-ribut terjadi. Antar petinggi partai saling tuding. Saling kritik.
Eks Wakil Ketua Umum PPP Zainut Tauhid Sa’adi mengaku prihatin suara PPP dalam pemilihan umum 2024 tidak bisa mencapai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4 persen.
Oleh karena itu, Zainut mendesak elite partai supaya meminta maaf sembari mengundurkan diri dari jabatannya. Hal itu dinilainya akan lebih bijak.
“Akan lebih bijak jika permohonan maaf itu disertai dengan pernyataan pengunduran diri elit tertinggi partai dari jabatannya secara ikhlas dan legowo,” Zainut dalam keterangan yang diterima, Sabtu (15/6/2024).
Menurut dia, keterpurukan suara PPP adalah sebuah harga yang harus dibayar oleh para pimpinan. Sebab, elite partai dinilai tidak memiliki kepekaan terhadap perasaan publik.
“Hal itu tercermin dari ketidakmampuannya mengelola konflik internal partai dengan baik, bahkan sebagian dari elitenya memiliki kegemaran mempertontonkan konflik secara terbuka di depan publik,” tuturnya.
Merespon itu, Ketua DPP PPP Syaifullah Tamliha mengajak semua pihak untuk mengendalikan diri. Ia menilai PPP tidak akan lagi menjadi partai idola bagi kalangan tua hingga milenial, jika terus memunculkan polemik di internal.
“Sebaiknya semua pihak bisa mengendalikan diri dengan cara istighfar dan mengoreksi diri bagi perbaikan PPP ke depan. Tidak kemudian mempertontonkan kepada publik yang berbuntut pada semakin terjadi perpecahan di tubuh PPP,” jelasnya.
Tamliha mengingatkan semua pihak untuk mengoreksi diri demi kebaikan partai. Sebab, PPP adalah partai persatuan. “Wajib dong (mengoreksi diri). Kok namanya Partai Persatuan, malah bertengkar melulu,” kelakarnya.
Ia menegaskan, PPP adalah partai terbuka. Sehingga, tidak ada figur yang dominan di internal partai.
“PPP saat ini menjadi partai terbuka yang tidak ada figur yang dominan. Kalaupun ada tinggal Hamzah Haz mantan Ketum PPP dua kali dan figur yang ‘paling bersih’ hingga jadi Wapres. PPP tidak seperti PDIP, Partai Gerindra dan Partai Nasdem yang ‘ada pemiliknya’,” tandasnya.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto