MAKLUMAT – “Bahasa adalah jembatan kemanusiaan.”Kalimat itu bukan sekadar kutipan, melainkan napas dalam setiap langkah hidup Prof. Dr. Dra. Sujinah, M.Pd. Ia adalah Guru Besar Bidang Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) yang baru saja dikukuhkan.
Bagi perempuan kelahiran Balikpapan, 30 Januari 1965, bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa merupakan ruang berpikir, berempati, dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Dari kata, ia belajar memahami manusia; dari bahasa, ia menemukan jalan untuk mendidik generasi yang lebih bijak.
Dari Kampung Telindung ke Ruang Akademik
Prof. Sujinah tumbuh di Kampung Telindung Baru, Balikpapan, dalam keluarga sederhana yang menjunjung tinggi kejujuran, kedisiplinan, dan pentingnya pendidikan, terutama bagi perempuan.
Ayahnya, Ketang Sumoharjo, adalah pedagang. Sedangkan sang ibu, Jasmin, perempuan tangguh yang menjadi teladan kasih dan kerja keras.
“Sejak kecil saya hanya bercita-cita menjadi pedagang, karena bapak seorang pedagang,” kenangnya. Namun hidup membawanya ke jalan lain: dunia pendidikan.
Perjalanannya berawal dari SD Negeri Bangsongan 1 Papar (1977), SMP Negeri Papar (1981), dan SPG Negeri Kediri (1984). Cinta terhadap ilmu dan bahasa menuntunnya ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa), tempat ia meraih gelar sarjana (1989), magister (2002), dan doktor (2011) di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Mengabdi di UMSurabaya
Tahun 1990 menjadi titik awal pengabdiannya di UMSurabaya, kampus yang kemudian menjadi rumah intelektualnya selama lebih dari tiga dekade.
Ia meniti karier dari dosen muda hingga mendapat kepercayaan memegang berbagai jabatan strategis. Misalnya, Ketua Program Studi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Kemudian berlanjut menjadi Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), hingga kini menjabat Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3).
Kepemimpinannya dikenal tegas namun hangat. Ia memadukan disiplin akademik dengan nilai-nilai kemanusiaan—sebuah keseimbangan yang jarang dijumpai di ruang birokrasi pendidikan.

Bahasa yang Mengajarkan Empati
Sebagai akademisi, Prof. Sujinah tidak berhenti pada teori. Baginya, pembelajaran bahasa adalah proses membentuk manusia yang berpikir, berempati, dan berkarakter.
“Literasi sejati bukan sekadar kemampuan membaca teks, tapi kemampuan memahami kehidupan,” ujarnya dalam satu forum akademik.
Ia menulis dan meneliti dengan semangat yang sama. Karyanya meliputi Menjadi Pembicara Terampil, Literasi dan Kearifan Lokal untuk Anak, dan Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Siswa Cerdas Istimewa, menegaskan bahwa pendidikan bahasa harus berakar pada budaya dan nilai lokal.
Mengajar, Menulis, Menginspirasi
Kiprah Prof. Sujinah melampaui ruang kelas. Ia aktif sebagai Duta Kampus Merdeka Jawa Timur, Koordinator Pertukaran Mahasiswa Merdeka, dan Ketua Divisi Pendidikan dan Latihan Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI).
Selain itu, ia juga menjadi Konsultan Pendidikan, Asesor Nasional LAMDIK, dan Asesor Jabatan Akademik LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur.
Dalam setiap peran itu, ia memperjuangkan pendidikan yang memerdekakan manusia.
“Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan sekadar menuntut nilai,” tegasnya.
Bahasa, Pikiran, dan Kemanusiaan
Bagi Prof. Sujinah, keberhasilan pendidikan bahasa tidak diukur dari kefasihan berbicara, melainkan dari sejauh mana seseorang memahami diri dan lingkungannya.
“Bahasa membentuk pikiran, dan pikiran yang baik akan melahirkan tindakan yang bijak,” tuturnya.
Setelah dikukuhkan sebagai Guru Besar UMSurabaya, ia menilai pencapaian ini bukan akhir. Sebaliknya, ini menjadi babak baru pengabdian. Ia ingin terus menulis, membimbing, dan menumbuhkan generasi pendidik yang cerdas, berkarakter, serta mencintai bahasa Indonesia.
“Ilmu yang tidak dibagikan akan berhenti di diri kita. Saya ingin menjadi bagian dari aliran pengetahuan yang bermanfaat,” ujarnya menutup percakapan.
Kisah Prof. Sujinah adalah potret tentang bagaimana ilmu dan nilai berjalan beriringan. Dari ruang kelas UMSurabaya, ia menanamkan keyakinan sederhana: bahwa lewat bahasa, manusia belajar memahami sesama. Bahasa, bagi Prof. Sujinah, adalah cermin kemanusiaan itu sendiri.