Prof Yuli Kusumawati: Skrining Kesehatan Mental Ibu Hamil di Puskesmas Masih Terabaikan

Prof Yuli Kusumawati: Skrining Kesehatan Mental Ibu Hamil di Puskesmas Masih Terabaikan

MAKLUMAT — Pemeriksaan kehamilan di puskesmas selama ini berfokus pada kondisi fisik, seperti tekanan darah, berat badan, pemberian vitamin, hingga pemantauan perkembangan janin. Namun, aspek penting lain kerap terabaikan, yaitu kesehatan mental ibu hamil.

Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Yuli Kusumawati, S.K.M., M.Kes., menegaskan perlunya skrining kesehatan mental pada ibu hamil di layanan primer. Temuan itu ia tuangkan dalam penelitian berjudul Qualitative Study on Mental Health Screening Needs of Pregnant Women in Primary Health Care.

“Kesehatan mental ibu hamil menentukan kualitas tumbuh kembang janin dan anak ke depan,” ujar Yuli seperti dilansir laman UMS, Selasa (16/9/2025).

Dampak Gangguan Mental pada Ibu Hamil

Kehamilan sering disebut masa penuh kebahagiaan, tetapi banyak ibu justru mengalami kecemasan sejak trimester awal. Hasil wawancara Yuli dengan 15 responden menunjukkan, ibu hamil kerap dihantui rasa takut janin tidak berkembang, keguguran, hingga bayangan persalinan. “Kalau tidak dikelola, kecemasan bisa berkembang menjadi depresi,” jelas Yuli.

Depresi selama kehamilan berdampak serius. Ibu hamil enggan memeriksakan kandungan, malas mengonsumsi makanan bergizi, dan kehilangan semangat merawat diri. Akibatnya, bayi berisiko lahir dengan berat badan rendah hingga mengalami stunting.

Gangguan mental juga bisa berlanjut setelah melahirkan. Fenomena baby blues maupun depresi pascapersalinan membuat ibu sulit menjalin ikatan dengan bayinya. Ada yang menolak menyusui, bahkan merasa tidak sanggup mengurus anak. Dampaknya bukan hanya pada kesehatan fisik bayi, tetapi juga perkembangan emosional dan psikososialnya.

Baca Juga  Dikukuhkan sebagai Guru Besar UMS Bidang Psikologi Kesehatan Mental, Siapa Eny Purwandari?

Faktor pemicu gangguan mental pada ibu hamil beragam, mulai dari tekanan ekonomi, kehamilan tidak direncanakan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Minimnya dukungan suami dan keluarga semakin memperburuk kondisi.

Sayangnya, masyarakat masih sering menyepelekan hal ini. Emosi ibu hamil dianggap sekadar “sensi” atau perubahan hormonal. Stigma itu membuat ibu enggan bercerita, sementara tenaga kesehatan jarang menanyakan kondisi psikologis. “Yang dibutuhkan ibu bukan penghakiman, melainkan perhatian,” tegas Yuli.

Urgensi Skrining Kesehatan Mental di Puskesmas

Penelitian Yuli menemukan celah besar di layanan primer. Selama ini puskesmas hanya mencatat gangguan mental berat seperti skizofrenia, bunuh diri, atau kecanduan. Depresi ringan dan kecemasan pada ibu hamil tidak pernah masuk sistem pelaporan.

Padahal, tujuan skrining adalah mendeteksi gejala awal sebelum memburuk. Yuli menyarankan skrining minimal dua kali selama kehamilan, yakni pada kunjungan pertama dan menjelang persalinan. Jika ada indikasi masalah, skrining bisa diulang di trimester kedua atau pasca persalinan.

Kendala lain terletak pada instrumen skrining. Puskesmas masih memakai Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terlalu panjang dan kurang spesifik untuk ibu hamil. Yuli merekomendasikan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), kuesioner sepuluh pertanyaan sederhana yang lebih praktis.

“Kalau instrumennya panjang, ibu hamil malas mengisi. EPDS lebih praktis dan hasilnya langsung terbaca,” kata Yuli. Kementerian Kesehatan bahkan mulai mengadopsi instrumen ini untuk meningkatkan layanan kesehatan jiwa.

Baca Juga  Bahan Alami untuk Obati Luka di Kulit, Ga Nyangka Nomor 5

Inovasi dan Harapan ke Depan

Penelitian Yuli tidak berhenti di ruang akademik. Hasil temuannya sudah diseminasi ke Dinas Kesehatan dan puskesmas di Surakarta. Tahun 2025 lahir kebijakan lokal untuk mulai menerapkan skrining kesehatan mental ibu hamil, meski implementasinya masih terbatas.

Kini, Yuli tengah mengembangkan aplikasi digital agar bidan bisa membaca hasil skrining otomatis. Inovasi ini diharapkan meringankan beban kerja manual karena hasil pemeriksaan langsung menunjukkan kebutuhan ibu: edukasi, konseling, atau rujukan.

Meski begitu, Yuli menekankan bahwa dukungan sosial tetap memegang peran besar. Program kelas ibu hamil di puskesmas sebenarnya dirancang melibatkan pasangan, tetapi keterbatasan waktu dan anggaran membuat kehadiran suami masih minim.

Padahal, keterlibatan suami terbukti menurunkan risiko depresi. Kehadiran pasangan memberi rasa aman dan perhatian yang signifikan bagi kesehatan mental ibu hamil.

Yuli berharap pemerintah segera membuat kebijakan nasional yang lebih tegas. Dengan pencatatan data kesehatan jiwa yang rinci, kondisi ibu hamil bisa benar-benar terpantau.

“Mengabaikan kesehatan mental ibu hamil sama saja mempertaruhkan masa depan generasi berikutnya,” pungkasnya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *