Purbaya Yudhi Sadewa: Antara Formula, Politik, dan Nasib 270 Juta Rakyat

Purbaya Yudhi Sadewa: Antara Formula, Politik, dan Nasib 270 Juta Rakyat

MAKLUMATPurbaya Yudhi Sadewa resmi diangkat sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani, 8 September 2025 lalu. Nama ini mungkin tidak sepopuler pendahulunya, tetapi bagi kalangan ekonom dan teknokrat, ia bukanlah orang asing. Lulusan Teknik Elektro ITB yang kemudian menekuni bidang ekonomi hingga meraih gelar doktor di Purdue University, Amerika Serikat, dikenal sebagai sosok yang berpikir matematis, rapi, dan penuh hitungan.

Penulis:Nurkhan

Selama bertahun-tahun, Purbaya lebih banyak berkutat di ruang riset dan analisis. Dari akademisi, ekonom pasar, hingga Ketua LPS, kariernya relatif konsisten: angka, grafik, dan model kebijakan. Kini, ia harus melangkah ke gelanggang politik paling keras: mengelola APBN Rp3.300 triliun dalam sebuah pemerintahan yang sarat agenda politik besar.

Di sinilah persoalannya. Ekonomi di atas kertas berbeda jauh dari ekonomi di lapangan. Angka tidak punya kepentingan, tetapi politik selalu sarat kepentingan. Disiplin fiskal yang rapi bisa hancur dalam sekejap bila berhadapan dengan ambisi proyek mercusuar, janji politik, atau kepentingan jangka pendek penguasa.

Janji pertumbuhan ekonomi 6-7% yang ia lontarkan, misalnya, memang indah terdengar. Tetapi sejarah ekonomi Indonesia menunjukkan: mencapai pertumbuhan di atas 7% hampir mustahil tanpa reformasi struktural yang menyakitkan—pemangkasan subsidi yang tidak tepat sasaran, pengetatan belanja negara, dan reformasi pajak yang berani. Apakah Purbaya siap mengambil langkah yang tidak populer itu? Ataukah ia akan memilih kompromi, mengikuti arus, dan membiarkan APBN dijadikan alat politik?

Baca Juga  Purba Yudhi Sadewa Jadi Menkeu, PKB Ingatkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Masalah utang negara juga semakin menekan. Cicilan bunga kian besar, membatasi ruang fiskal untuk pembangunan. Sri Mulyani sebelumnya dikenal keras menjaga defisit agar tidak jebol. Apakah Purbaya akan mewarisi ketegasan itu, atau justru melunak demi menjaga hubungan harmonis dengan kekuasaan politik?

Komunikasi Publik

Ada pula persoalan komunikasi publik. Sejenius apa pun seorang menteri, kebijakan fiskal tidak boleh hanya dipahami kalangan teknokrat. Rakyat berhak tahu arah kebijakan dengan bahasa sederhana, bukan jargon teknis. Bila Purbaya tetap larut dalam gaya “nerdy” yang selama ini melekat padanya, ia bisa kehilangan kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan adalah modal terpenting dalam mengelola fiskal.

Sejarah mencatat, banyak Menteri Keuangan jatuh bukan karena kurang pintar, melainkan karena gagal menghadapi tarik-menarik kepentingan politik. Mari kita jujur: Indonesia tidak kekurangan ekonom jenius, tetapi sering kekurangan pemimpin yang berani berkata “tidak” pada kepentingan sempit.

Maka pertanyaan sederhana sekaligus berat pun muncul:

  • Apakah Purbaya akan dikenang sebagai teknokrat matematis yang mampu mengubah hitungan di kertas menjadi kebijakan nyata?

  • Ataukah sekadar nama tambahan dalam daftar panjang pejabat yang larut dalam kompromi politik?

Bangsa ini menanti jawabannya. Karena bagi rakyat, kebijakan bukan soal persamaan diferensial atau model ekonomi, melainkan soal harga beras, biaya sekolah, dan masa depan anak-anak mereka.***

*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng Gresik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *