MAKLUMAT — Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Nanik Prasetyoningsih MH, turut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini, yang mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP) tanpa dipungut biaya alias gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Sekadar informasi, putusan tersebut dikabulkan melalui uji materi Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga orang ibu rumah tangga. Putusan tersebut menguatkan kewajiban negara dalam menjamin pendidikan dasar tanpa biaya bagi seluruh anak Indonesia.
Putusan MK itu disambut bak angin segar dalam keadilan dan pemerataan pendidikan. Meski demikian, sejumlah kelompok masyarakat, akademisi dan praktisi pendidikan maupun hukum, juga menilai keputusan tersebut sekaligus membuka tantangan baru dalam implementasinya. Terutama dalam hal kesetaraan perlakuan antara sekolah negeri dan swasta.
Dalam hal ini, Nanik menekankan pentingnya skema pendanaan yang adil dan tidak diskriminatif, sehingga dapat memastikan keberlangsungan operasional pendidikan baik di sekolah negeri maupun swasta.
“Putusan ini bersifat progresif yang secara tidak langsung memaksa negara untuk mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan dasar. Kalau pembiayaan ini hanya untuk sekolah negeri, maka itu bentuk diskriminasi dari negara,” ujarnya, dilansir dari laman resmi UMY, Ahad (8/6/2025)
“Di sinilah letak kerumitan utamanya. Pemerintah perlu memikirkan model pendanaan yang adil dan berkelanjutan,” sambung Nanik.
Sebagaimana diketahui, MK dalam amar putusannya menyatakan Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas inkonstitusional bersyarat. Ratio decidendi berikutnya menegaskan bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP) tanpa memungut biaya alias secara gratis, baik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Bagi Nanik, hal tersebut mengandung pesan tegas bahwa sekolah swasta juga harus mendapat perhatian yang sama dalam hal pendanaan.
Implikasi hukum dan kebijakan dari putusan ini tidak ringan. Nanik menilai sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci utama. Termasuk, DPR juga dituntut untuk segera melakukan harmonisasi regulasi agar sejalan dengan keputusan MK.
Tak hanya itu, ia juga mengusulkan pembentukan satuan pengawas independen sebagai langkah taktis dalam memastikan distribusi dana pendidikan benar-benar menjangkau semua lini, tanpa diskriminasi. Ia menyoroti kelemahan dalam sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang selama ini dinilai masih kurang tepat sasaran.
“Pemerintah harus membentuk satuan pengawas juga, untuk memastikan distribusi merata. Diperlukan desain baru dari dana BOS. Sekarang sistem BOS juga tidak tepat sasaran, misalnya, ada pesantren yang tidak ada santrinya tapi dapat BOS,” sebutnya.
“Putusan MK juga harus dilakukan sesegera mungkin untuk konversi anggaran-anggaran pelaksanaan ini juga dapat berjalan sesuai waktu yang diharapkan,” tandas Nanik.