AKHIRNYA setelah penantian panjang penuh getaran dada dan pusing kepala, palu godam telah diketukkan. Para hakim “malaikat” Mahkamah Konstitusi memutuskan, menolak semua dalil Pemohon yang diajukan pasangan capres-cawapres nomor 01 dan 03. Meski begitu ada 3 hakim yang dalam bahasa legal-formalnya mengajukan dissenting opinion, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Entah bermaksud basa-basi untuk menghibur pasangan capres-cawapres yang kalah atau sekadar ingin tampil beda, ketiga hakim itu patut diacungi jempol karena membuat sejarah baru dan catatan penting bagi penyelenggaraan Pemilu Pilpres dan Pilkada mendatang lebih adil dan bermartabat.
Memang mana ada urusan dunia itu sempurna. Apalagi dunia politik. Penuh intrik dan taktik. Terkadang malah urusan like and dislike. Teringat pameo atau joke politik yang pernah dilontarkan Menteri Penerangan di era Soeharto. Harmoko yang asli Kab. Nganjuk itu. Seorang bos bertanya pada tiga anak buahnya. Kepada A bos bertanya, “Satu tambah satu ada berapa?” A menjawab. “Dua Pak !.” Dalam batin bos, A tipikal orang jujur.
Lalu bos bertanya pada B. “Satu tambah satu berapa?” B menjawab, “Lima Pak.” Si Bos bergumam kalau B ini orang goblok. Lalu Bos bertanya pada C, “Satu tambah satu berapa?” Tidak menjawab, C justru balik bertanya pada Bos, “Bapak mintanya berapa ?” Dalam batin Bos, tipikal C inilah yang bisa diajak berkoalisi!
That’s all politic! Sebagai jurnalis politik saya pikir-pikir kepribadian model C itu yang lebih mirip Harmoko sendiri. Walau di ujung karir politiknya, Harmoko sebagai Ketua DPR MPR pada 1998 yang menghunjamkan “palu maut” sebagai tanda harus berakhirnya rezim Soeharto pada saat Gedung DPR/MPR dikepung total mahasiswa.
Tapi sebentar dulu. Jangan cepat-cepat menghakimi ketiga model- anggap saja politisi itu. Karena ketiga kepribadian anak buah dan kepribadian bos begitu juga kini lazim ditemukan di kantor-kantor yang dikenal dengan politics of office. Bahkan, mohon maaf sampai di organisasi massa keagamaan. Semua itu terjadi karena dunia mengalami climate change dalam wujud lain : makin hedonistis, materialistis, dan kapitalistis.
Menatap Masa Depan Bersama
Sebab itu tidak ada manfaatnya mengikuti pentas politik dengan sepenuh hati dan jiwa, saran as seorang tokoh. Kalau gagal dan tak sesuai harapan bisa-bisa sakit hati dan bahkan sakit jiwa. Agama Islam sendiri mengajarkam, kebencian jangan berlebihan karena boleh jadi Allah menyukainya. Sebaliknya, mencintai juga jangan berlebihan, karena bisa jadi Allah membencinya (QS 2 : 216). Meminjam lirik lagu dangdut, “Yang sedang-sedang saja.”
Terlebih lagi mencermati dinamika politik dengan hanya bermodal postingan di media sosial. Jauh lebih parah dan memprihatinkan. Sejak era internet dan medsos, jagat informasi bisa disebut 75 persen isinya sampah : hoaks, pembunuhan karakter, perundungan, dan ujaran kebencian. Akibat semua orang bisa menjadi “wartawan.”
Saking semangatnya, bukan kandidat lawannya saja yang diserang, tapi kawan segrup WA yang berseberangan juga dicaci maki, Padahal andai yang mencaci itu wafat, yang pertama kali mengucapkan inna lillahi ya anggota grup itu sendiri. Bukan Anies, Prabowo, dan Ganjar ! Politik dianggap mutlak seperti urusan akidah, padahal semua kontestan Pilpres beragama muslim. Meminjam Bahasa Al Qur’an urusan dunia tak lebih dari la’ibun wa lahwun dan mata’ul ghurur. Politik hanyalah salah satu media dakwah. Bukan satu-satunya.
Berkaca dari dalil politik Robert A.Dahl, dalam blantika politik selalu ada kontestasi dan partisipasi. Kontestasi politik dilakukan untuk memilih pemimpin yang terbaik di antara lainnya. Dalam demokrasi elektoral yang dihitung adalah jumlah kepala bukan isi kepala. One man one vote one value. Suara profesor sama harganya dengan suara yang tidak sekolah, Suara copet sama nilaiya dengan suara kiai. Apa boleh buat the majority will have it !
Pada konteks partisipasi dalam Pilpres 2024 lalu tingkat partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen lebih tinggi dibanding Pileg DPR RI 81.42 persen. Dalam hitungan negara-negara demokrasi jumlah itu terbilang sangat tinggi. Terlepas dari tuduhan adanya gerojogan bansos dan mobilisasi aparatus negara, toh para hakim MK sudah menolak dalil itu. Jika belum puas mari kita ajukan gugatan di Pengadilan Akhirat !
Ke depan tentu masyarakat harus realistis. Alfian menggambarkan politik itu adalah dinamika antara konflik dan konsensus. Pilihan demokrasi elektoral sudah disepakati dengan segala konsekuensinya. Jangan sampai muncul ketidakpercayaan berlebihan kepada lembaga-lembaga negara hatta Mahkamah Konstitusi. Hanya karena literasi politik yang rendah atau ego yang berlebihan konflik itu dibawa sampai jauh.
Ilmuwan politik James P Carse (1986) menyatakan, Pemilu biasanya diposisikan sebagai finite games atau permainan yang jelas akhirnya. Kini permainan telah usai. Pemenangnya adalah Prabowo-Gibran 58, 59 persen atau 96,2 juta suara. Jauh mengungguli lawan-lawannya, yaitu Anies-Muhaimin 24,95 persen dan Ganjar-Mahfud 16,47 pesen.
Mari menatap masa depan bersama dengan segala tantangan dan solusinya. Pak Anies dan Pak Ganjar juga sudah “terkabul” niatnya menjadi capres. Termasuk jangan lupa, Prof Mahfud MD juga sudah terlunasi menjadi cawapres yang tertunda. Buat apa susah. Buat apa susah. Susah itu tak ada gunanya!
Ainur Rafiq Sophiaan, Penulis adalah Jurnalis Senior, Pimpinan Redaksi Majalah Matan