RA Kartini di Mata Ketua LHKP Jatim M Mirdasy: Pemberontakan dari Balik Tembok Kadipaten

RA Kartini di Mata Ketua LHKP Jatim M Mirdasy: Pemberontakan dari Balik Tembok Kadipaten

MAKLUMAT — RA Kartini bukan hanya dikenang sebagai pahlawan perempuan, tetapi juga sebagai simbol perlawanan intelektual terhadap sistem patriarki yang membelenggu masyarakat pada masanya.

Dalam pandangan M Mirdasy, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jawa Timur, Kartini bukan hanya seorang wanita yang melawan ketidakadilan, tetapi seorang pemikir yang berani menantang tatanan sosial lewat tulisan dan pemikirannya.

“Apa yang dilakukan Kartini sungguh pemberontakan tersendiri, melalui tulisan-tulisannya berupa surat-surat kepada teman-temannya,” ujar Mirdasy saat memberi pengantar dalam acara Dialog Publik: Peringatan Hari Kartini 2025 yang digelar LHKP PWM Jawa Timur di Dewarna Hotel & Convention Bojonegoro, Jumat (25/4/2025).

Pada kesempatan itu, Mirdasy mengajak para peserta acara untuk mengenang bagaimana pemberontakan Kartini pada zamannya. Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara dari pasangan dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Ayahnya menjadi bupati Jepara, dua tahun setelah kelahiran Kartini. Dia hidup sebagai seseorang yang berasal dari keluarga kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Terlebih ayahnya adalah seorang bupati.

Hal itu menyebabkan Kartini mampu merasakan pendidikan formal di Europesche Lagere School (ELS) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1855.

“Mendapatkan pendidikan SD, di zaman itu tidak banyak. Ibaratnya hari ini tidak banyak kemudian wanita Indonesia yang belajar ke luar negeri. Tapi Kartini melakukan itu. Kartini belajar bahasa Belanda, bergaul dengan anak-anak Belanda,” jelas Mirdas.

Baca Juga  Putry Ain: Harus Ada Representasi Perempuan di Pos-Pos Krusial Pemerintahan

Kartin menyelesaikan pendidikan itu hingga sekitar tahun 1891 atau saat berumur 12 tahun. Pada momen inilah Kartini menjalani masa pingitan, sebuah fase yang dahulu menjadi bagian dari tradisi masyarakat Jawa. Dalam budaya ini, perempuan terutama dari kalangan bangsawan harus dipisahkan dari kehidupan sosial dan diwajibkan tinggal di rumah. Kartini merasa hidupnya terkungkung dan ruang geraknya sangat terbatas. Setiap hari, Kartini dididik untuk menjadi seorang putri bangsawan.

Ia harus mengikuti berbagai aturan adat lainnya yang ketat. Namun dari balik tembok Kadipaten itu, semangat pemberontakan Kartini seakan tidak mau padam. Ia terus membaca berbagai hal dan menulis. “Di situ Kartini melakukan pemberontakan dengan menulis surat,” imbuhnya.

Mirdasy sangat kagum pada kegigihan Kartini supaya para perempuan boleh belajar, termasuk belajar membaca Al-Qur’an. Meski demikian, Kartini tidak dapat berbuat banyak karena tidak memiliki akses untuk memahami Al-Qur’an. Selain keterbatasan pemahaman bahasa Arab, larangan dari sebagian ulama untuk menerjemahkan Al-Quran juga menjadi kendala utamanya.

Pada suatu momen, kegelisahan Kartini terkait hal itu disampaikan langsung kepada KH Muhammad Sholeh bin Umar atau yang dikenal sebagai Kiai Saleh Darat. Kartini lantas meminta langsung kepada Kiai Soleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Kiai Saleh Darat pun menyambut permintaan tersebut dengan menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa berjudul Faidur Rahman.

Baca Juga  Ketua LHKP PWM Jatim Tegaskan 3 Hal Penting Sebagai Navigator Politik

Kiai Soleh Darat lalu menghadiahkan kitab tersebut kepada Kartini saat menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat pada tahun 1903. Meski isinya tidak lengkap 30 juz, namun hal itu sudah sangat revolusioner pada zamannya. Dan, Kartini adalah pemantik di balik upaya Kiai Saleh Darat yang menulisnya. “Ini periode dimana kemudian Indonesia masih gelap gulita. Dan, kemudian seorang Kartini itu membongkarnya,” tekan Mirdasy.

Pada momen ini, Mirdasy mengajak para peserta acara ini yang sebagian besar dihadiri kader- kader Aisyiyah untuk selalu mengkontekstualisasikan semangat dan ikhtiar Kartini agar sesuai dengan latar belakang perjuangan masing-masing. Menurutnya, banyak yang bisa dipetik dari sosok Kartini walau zaman telah berubah drastis. Untuk itu, upaya kontekstualisasi menjadi penting.

“Kita tahu bahwa Kartini meninggal di usia 25 tahun. Pertanyaannya, kita (termasuk yang laki- laki), di usia yang segini sudah melakukan apa? Itu kritik penting bagi kita. Kartini adalah wanita Indonesia yang berjuang untuk emansipasinya, menembus tradisinya, dan kemudian dia belajar Al-Qur’an untuk mencerahkan dirinya dan orang lain. Ini harus selalu menginspirasi kita,” tandasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *