
MAKLUMAT — Di kaki Pegunungan Ijen yang tenang namun menyimpan luka agraria, Ramadan 1446 hijriah hadir dengan wajah lain. Bukan sekadar bulan suci yang dipenuhi ritual dan doa, tetapi menjadi momentum penguatan solidaritas, penyembuh luka, dan pengukuh harapan.
Di Desa Pakel, Banyuwangi, Ramadan datang bersama gerakan: Al-Maun Goes to Village. Konflik agraria yang membekap Desa Pakel bukan sekadar cerita sengketa lahan. Ia adalah tragedi sosial yang merampas akses warga terhadap hutan, tanah, bahkan kepercayaan diri.
Namun dalam keterbatasan, warga tak kehilangan iman. Di sinilah PP Muhammadiyah hadir, menggandeng LHKP, MHH, dan Lazismu, menyulam rangkaian kegiatan Ramadan yang penuh makna.
Mulai dari penyaluran parsel Ramadan, refleksi sosial, hingga buka puasa bersama menjadi ruang temu antara warga, aktivis, dan organisasi. Tapi lebih dari itu, inisiatif yang paling menyentuh adalah penyaluran dana pendidikan bagi warga terdampak konflik.
Anak-anak yang nyaris terhenti sekolahnya kini mendapat secercah harapan. Dana ini bukan sekadar bantuan, tapi pernyataan: bahwa pendidikan adalah hak, dan harapan tak boleh disandera konflik.
Salah satu agenda yang paling menggerakkan adalah Serasehan Kewirausahaan Rukun Tani Pakel. Dalam suasana hangat penuh tawa dan diskusi, para petani membicarakan strategi bertani secara berkelanjutan, membuka akses pasar, dan merancang inovasi hasil tani.
Mereka belajar membangun kemandirian, bukan sekadar mengandalkan belas kasihan. Ini bukan pelatihan biasa. Ini adalah deklarasi diam-diam bahwa petani Pakel tak akan tunduk pada ketidakadilan.
Dalam sambutan yang disampaikan secara daring, Busyro Muqoddas, Ketua PP Muhammadiyah, menyampaikan penghargaan atas keteguhan warga Pakel. Ia menegaskan bahwa perjuangan warga bukan perjuangan sendiri. “PP Muhammadiyah senantiasa membersamai langkah kalian,” ujarnya.
Meski berhalangan hadir secara fisik karena tugas lain, doa beliau mengiringi: “Innallaha ma’ashobirin — Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153).
Kegiatan Ramadan ini bukan penutup cerita, tapi awal dari narasi baru: tentang desa yang bangkit dengan semangat, bukan dendam. Tentang warga yang memilih jalan Al-Maun — membela yang lemah, memberdayakan yang kecil, dan melawan kezaliman dengan kelembutan.
Di tengah gelapnya konflik, Ramadan di Pakel menjadi lentera kecil yang menyala. Dan dari lentera itu, mungkin akan tumbuh api besar: semangat untuk hidup yang lebih adil, lebih mandiri, lebih bermartabat.