
MAKLUMAT — Definisi uang pada intinya tak ubahnya sebagaimana lazimnya manusia. Seiring perjalanan sejarah, uang mengalami revaluasi yang berkebutuhan disesuaikan dengan kemutakhiran.
Dahulu uang fungsinya sangat sederhana, itu hanya dipergunakan alat untuk menukar dan membayar jika seseorang ingin mendapatkan sesuatu. Tapi, sejalan lajunya zaman, konstanta uang mengalami alterasi yang kian kompleks. Uang tidak lagi sebatas sebagai alat tukar dan membayar, tetapi telah mewujud menjadi sandaran pembandingan status sosial seseorang.

Dengan perkembangan sejarah, kedudukan uang saat ini telah berkelindan begitu liar, dan masuk ke ranah yang kian tak terterka, serta punya daya jelajah mempengaruhi dan mengendalikan individu maupun kelompok menyangkut urusan politik, hukum maupun sosial.
Bahkan, urusan percintaan pun tak luput dipengaruhi faktor uang. Agar stabilitas kemesraan dapat terjaga, peran uang andilnya sangat besar. Sehingga, muncul idiomatik “Ada uang abang sayang, tak ada uang cinta melayang”. Berkaca pada realitasnya pepatah ini memang ada benarnya, mengingat berpadunya cinta yang terjalin di dalam rumah tangga menjadi kandas seringkali terjadi belakangan ini pengaruh yang dominan karena faktor uang (baca: ekonomi ).
Pada konteks mengelola pemerintahan posisi uang perannya juga sangat vital, karena kondisi pemerintahan dianggap sehat sebagai parameter utama adalah seberapa besar kesehatan keuangan yang dimilikinya. Dengan kata yang lebih ringkas, sebaik apapun program visi – misi pemerintah yang bentuknya masih abstrak, untuk dapat mewujudkan program tersebut dalam bentuk riil, penentunya adalah seberapa tebal tumpukan uang yang dimiliki dan digerakkan.
Pengertian uang tersebut telah dideskripsikan juga oleh seorang filsuf asal jerman yaitu “George Simmel” bahwa, eksistensi uang telah memiliki kemampuan untuk mentrasformasi dan mengubah dunia sosial pada dunia aritmatik (hitungan), dan juga sebagai sarana operatif mengubah kondisi abstrak menjadi konkret yang paling nyata dan murni.
APBD Jatim
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai dokumen penting yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pendapatan (uang) yang dimiliki, dan kemana arah belanja yang akan didistribusikan. Oleh sebab itu, jika kita ingin mengetahui anatomi sebuah daerah ukurannya dapat dilihat seberapa besar jumlah APBD di daerah tersebut.
Untuk di Jawa Timur pada tahun anggaran 2025 kekuatan APBD setelah melalui Perubahan APBD di pertengahan tahun menurut penulis diestimasikan kurang lebih berkisar Rp34 triliun, dengan rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkisar Rp21 triliun. Sedangkan pendapatan transfer dari pusat dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) tahun sebelum berkisar Rp13 triliun.
Jumlah APBD berkisar Rp34 triliun tersebut dialokasikan ke sektor belanja Pegawai berkisar Rp8 triliun, dan belanja transfer ke kabupaten dan kota se-Jawa Timur berkisar Rp8 triliun. Sedangkan sisanya berkisar Rp18 triliun untuk Pemberdayaan Masyarakat yang dialokasikan di tiap-tiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Nilai berkisar Rp18 triliun untuk pembedayaan masyarakat yang dialokasikan ke fisik maupun non fisik. Jika didistribusikan ke masyarakat Jawa Timur dengan luas wilayah 48.033 km persegi, dan jumlah penduduk mencapai 41.644.000 jiwa yang tersebar di 29 kabupaten dan 9 kota tentu tidak sepadan antara kebutuhan dan kekuatan anggaran.
Di samping itu, dengan kondisi pemerintah pusat pada tahun anggaran saat ini lagi mengirit pengeluaran akibat terjadi defisit anggaran, berkorelasi dengan kelangsungan kesehatan keuangan di tiap-tiap daerah otomatis terjadi goncangan. Bagaimana bisa? Karena kondisi tersebut berimbas pendapatan transfer dari pusat terjadi pengurangan.
Cekaman dari kondisi tersebut agar stabilitas fiskal Pemerintah Daerah Jatim antara pendapatan dan belanja pada tahun berjalan terjadi equalibrium atau seimbang, diperlukan terobosan agar defisit keuangan dapat tertutupi. Menurut penulis, ada dua sektor yang perlu dimaksimalisasi, yaitu pertama di sektor Pengelolahan Aset Daerah dan selanjutnya adalah pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Pengelolaan Aset Daerah
Pemerintah daerah seringkali menghadapi permasalahan untuk mendapatkan pendapatan baru yang digunakan membiayai operasional pemerintahan atau kebutuhan masyarakat guna meningkatkan perekonomian di daerah tersebut.
Kondisi ini dapat terjadi lantaran ada salah satu potensi yang belum disentuh dengan optimal dan dijadikan pilar penambah pendapatan daerah. Adapun potensi pendapatan daerah tersebut adalah pengelolaan dan pemanfaatan aset daerah.
Berangkaian dengan pengelolaan aset, Pemerintah Daerah Jawa Timur sebenarnya mempunyai kekayaan yang berlimpah dan nilainya juga terbilang sangat fantastis. Berdasarkan hasil penilaian dari tim apresial di tahun 2024 aset tanah yang dimiliki Pemda Jatim sejumlah 4.667 bidang, dan jika dikapitalisasi berdasarkan laporan dari apresial diestimasikan nilainya berkisar Rp58,2 triliun.
Nilai tersebut jumlahnya sangat tinggi bila dibandingkan dengan tetangga sebelah yaitu Provinsi Jawa Tengah berkisar Rp40,9 triliun, dan Jabar sejumlah Rp28, 6 triliun.
Walaupun Pemda Jatim memiliki aset besar, di tahun anggaran 2024 kemampuan memberikan kontribusi pendapatan di APBD hanya sebesar Rp 17 miliar. Tentu nilai sejumlah itu sangat tidak sepadan kalau dibandingkan dengan nilai aset yang dimiliki.
Kecilnya kontribusi pendapatan dari pengelolaan aset daerah tersebut dapat dijadikan tolok ukur dan pertanda bahwa Pemerintah Daerah Jatim selama ini sesungguhnya belum serius mengelola aset daerah.
Sungguh, begitu pentingnya pengelolaan aset daerah. Pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan alas hukum agar pemerintah daerah punya greget tindakan mengelola aset, yaitu PP 28 tahun 2020 tentang Pengelolaan Aset Daerah.
Melalui PP tersebut Pemerintah pusat telah memberi otoritas dan kelonggaran untuk mengelola dan memanfaatkan aset daerah bersama stakeholder yang lain, dalam bentuk disewakan maupun dikerjasamakan. Tetapi alas hukum ini pun belum mampu menjadi pemompa pacu Pemda Jatim untuk mendongkrak pendapatan di sektor pengelolaan aset daerah.
Jika pemerintah daerah mau bercermin di negara yang pengelolaan aset baik, seperti Norwegia dan Singapura, kekuatan aset dapat menjadi penopang keuangan bagi negara.
Dua negara tersebut dapat membuktikan bahwa aset yang dimiliki mampu dijadikan penyangga pendapatan, karena negara tersebut sadar bahwa bila asetnya yang digerakkan dapat meningkatkan pendapatan keuangan negara.
Himbauan tetang pengelolaan aset seringkali juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja bersama unsur pemerintah daerah, tetapi sampai saat ini pemerintah daerah belum juga bergeming.
Dari ilustrasi di atas ini kita mendapatkan gambaran perbedaan negara maju dan negara berkembang terhadap pengelolaaan aset. Jika negara maju asetnya disuruh kerja dan manusianya tidur, tapi di negara berkembang seperti di Indonesia orangnya bekerja keras, dan asetnya disuruh tidur. Sehingga atas dasar itu barangkali yang membuat pengelolaan aset susah dijadikan pilar pendapatan negara atau daerah.
Selanjutnya, menyikapi aset daerah Pemda Jawa Timur sebagaimana yang di sampaikan di atas dengan jumlah aset 4.667 bidang yang menyebar di tiap-tiap 29 kabupaten maupun 9 kota se-Jawa Timur, baik berstatus lahan pertanian, perkebunan, maupun tanah pekarangan, sebenarnya banyak tempatnya sangat strategis dan juga produktif, tapi sayang sampai saat ini masih berhampar yang belum dimanfaatkan dengan optimal, bahkan kondisinya ada yang terlantarkan.
Padahal, jika Pemda Jatim mau dikerjasamakan dengan pihak swasta dalam bentuk sewa ataupun bentuk yang lain, saya yakin mampu dijadikan kantong pendapatan asli daerah. Mengingat sektor swasta banyak yang butuh lahan untuk digunakan sarana berusaha.
Problem lain, pengelolaan aset daerah belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal menurut penulis adalah dipengaruhi pengelolaaannya masih dipegang Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Sebuah badan yang mengurusi dua hal penting yaitu persoalan keuangan dan aset daerah.
Lambatnya BPKAD dalam mengelola aset daerah sementara kita maklumi karena badan tersebut punya dua tanggung jawab yang besar. Pertama, adalah mengelola keuangan daerah meliputi pendapatan, pembelanjaan, pembiayaan, evaluasi sampai outputnya. Kedua, adalah mengelola aset daerah meliputi penggunaan, pemanfaatan dan pemindahannya.
Dua urusan tersebut tentu sangat berat bila dipikul bersama-sama karena satu urusan pengelolahan keuangan saja bebannya begitu besar, apalagi ditambah beban mengelola aset daerah saya pikir juga melebihkan kerumitan lagi. Untuk itu agar pengelolaan aset daerah tersebut dapat lebih fokus untuk mengelola aset daerah sebaiknya perlu dibentuk badan atau lembaga teknis tersendiri untuk mengelola aset daerah di Jawa timur.
Eksistensi BUMD
Desain awal pemerintah pusat memberi kewenangan kepada pemerintah daerah membentuk Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) adalah dengan tujuan mensuport untuk menggerakkan perekonomian, dan memperoleh pendapatan daerah. Mengingat, jika menggerakkan perekonomian dan memperoleh pendapatan hanya bertumpu dari pajak dan retribusi daerah hasilnya pasti berat.
Oleh sebab itu, dengan terbentuknya BUMD tersebut diharapan sebagai solusi untuk menopang geliat perekonomian serta mendapatkan keuntungan agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertambah. Tujuan tersebut juga sebagaimana yang ditegaskan dalam PP NO 54 tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah.
Mempertimbangkan bahwa terbentuknya BUMD bertujuan baik untuk masyarakat Jawa Timur sehingga melalui Perda No 8 tahun 2019 tentang Badan Usaha Milik Daerah, Pemerintahan Jawa Timur membentuk beberapa BUMD yang sesuai dengan bidangnya yakni, meliputi 1. Bank Jatim investasi Rp1,9 triliun, 2. BPR UMKM Rp360 miliar, 3. Panca Wira Usaha Rp 145 miliar, 4. Jatim Graha Utama Rp 748 miliar, 5. Petro Gas Jatim Utama Rp453 miliar, 6. Jamkrida Rp179 miliar, dan 7. Perusahaan Air Bersih Rp125 miliar.
Sedangkan Pemda Jatim yang ikut menanam saham di perusahaan lain, terdiri, 1. PT SIER investasi Rp50 miliar, 2. PT ASKRIDA Rp6,4 miliar, dan 3. Jatim Krida Utama Rp1,8 miliar. Sehingga keseluruhan yang diinvestasikan baik yang di BUMD maupun inves di perusahaan lain berkisar Rp3,9 triliun.
Dari total investasi sebesar Rp3,9 triliun deviden yang didapat dan masuk dalam pendapatan asli daerah berkisar Rp440 miliar, yaitu dari Bank Jatim Rp410 miliar, BPR UMKM berkisar Rp9 miliar, dan selebihnya dari BUMD lainya. Dominannya deviden yang hanya bertumpu dari Bank Jatim dan BPR UMKM sebagai pertanda bahwa masih ada BUMD yang lain pengelolaannya belum sehat. Sebagaimana contoh di Jatim Griya Utama (JGU) dengan ivestasi sebesar Rp785 miliar, tetapi deviden yang diberikan hanya senilai Rp3,8 miliar setahun. Tentu nilai deviden tak sebanding dengan investasi yang ditanamkan.
Masih banyaknya BUMD yang belum mampu memberikan deviden yang sepadan menurut penulis disebabkan personil yang menempati posisi jajaran direksi maupun komisaris bukan orang yang kompeten dan profesional di bidangnya, atau juga faktor orang yang mengelola terlalu lama menempati kursi tersebut sehingga etos kerjanya mengendur.
Terakhir, jika membangun daerah hanya bertumpu dan mengandalkan pada besarnya pajak dan restribusi daerah, konsekuensinya pasti berpaut terhadap beban masyarakat semakin meningkat. Maka dengan mengoptimalisasi pengelolahan aset daerah dan BUMD adalah sebagai solusi meningkatkan pendapatan dan ekonomi daerah, tanpa harus menanggungkan pembesaran pajak kepada masyarakat yang ada di daerah tersebut.
Betapa pun, mengelola keuangan tidak hanya tentang menghitung uang, tetapi juga membangun kebiasaan dan karakter yang mendukung keberhasilan finansial. Sekarang adalah waktunya yang tepat!
*)Mantan anggota DPRD Jatim periode 2019 – 2024.