MAKLUMAT – Hari Guru Nasional adalah momen yang penuh makna. Pada hari ini, kita semua sepakat untuk memberikan penghormatan kepada para guru yang telah mendedikasikan waktu, tenaga, dan hati mereka demi mendidik generasi penerus bangsa. Namun, di tengah semarak perayaan ini, ada sebuah fenomena yang perlu kita renungkan bersama: budaya pemberian hadiah kepada guru.
Sengaja tulisan ini saya posting setelah Hari Guru berlalu. Hari yang penuh euforia, di mana wajah-wajah ceria siswa, senyum bangga guru, dan berbagai perayaan meriah menghiasi sekolah-sekolah di seluruh negeri. Tidak sedikit guru menerima bunga, bingkisan, bahkan kejutan istimewa dari murid-murid yang ingin menunjukkan rasa terima kasih mereka.
Di media sosial, kita melihat berbagai unggahan foto dan video: guru-guru dengan tangan penuh hadiah, murid-murid yang mempersembahkan puisi, hingga paduan suara yang menyanyikan lagu untuk guru tercinta. Ini adalah pemandangan yang indah, menghangatkan hati, dan membuat kita bangga menjadi bagian dari dunia pendidikan. Namun, di balik semua kemeriahan ini, ada hal yang perlu kita renungkan bersama.
Di tengah sorak-sorai peringatan Hari Guru Nasional, mari kita coba meluangkan waktu untuk melihat ke sisi lain dari cerita ini. Tidak semua guru merasakan gemerlap yang sama. Ada mereka yang bekerja di pelosok negeri, di tempat di mana perayaan Hari Guru mungkin hanya sebatas ucapan selamat dari seorang murid yang datang tanpa seragam lengkap. Ada guru-guru yang tidak pernah menerima hadiah, meski sekadar sebatang bunga.
Apakah guru-guru ini merasa kurang dihargai? Tentu saja tidak. Sebab sejatinya, penghargaan kepada guru tidak pernah ditentukan oleh banyaknya hadiah atau megahnya perayaan. Penghargaan sejati terletak pada keikhlasan, rasa hormat, dan komitmen kita untuk mendukung peran guru sebagai pilar pendidikan bangsa.
Namun, sebagai kepala sekolah, saya tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa budaya pemberian hadiah sering kali membawa dampak yang tidak terduga. Kebahagiaan yang dirasakan satu pihak bisa menjadi luka kecil bagi pihak lain. Tidak sedikit guru yang merasa tersisihkan ketika melihat kolega mereka menerima hadiah melimpah sementara mereka tidak mendapatkannya. Bagi siswa, pemberian hadiah bisa menjadi beban emosional, apalagi jika kondisi keluarganya tidak memungkinkan.
Oleh karena itu, di sekolah ini, saya memutuskan untuk menghapus budaya pemberian hadiah pada momen Hari Guru. Keputusan ini bukan untuk mengurangi makna perayaan, tetapi justru untuk mengembalikan maknanya ke tempat yang seharusnya.
Saya mengajak kita semua untuk memaknai Hari Guru dengan cara yang lebih bermakna. Guru tidak membutuhkan bingkisan untuk merasa dihargai. Ucapan terima kasih yang tulus, perhatian yang nyata, dan tindakan mendukung pendidikan adalah hadiah terbaik yang bisa kita berikan.
Untuk murid-murid, belajar dengan giat dan menjadi pribadi yang berakhlak mulia adalah penghormatan tertinggi yang dapat kalian persembahkan kepada guru-guru kalian.
Kepada seluruh guru, Anda adalah lentera yang menyalakan harapan. Tetaplah bangga dengan tugas mulia ini. Meski mungkin tak ada bunga di tangan atau ucapan terucap, percayalah bahwa setiap pelajaran yang Anda tanamkan adalah bekal abadi yang akan terus hidup dalam diri murid-murid Anda.
Mari jadikan refleksi ini sebagai pengingat bahwa penghargaan kepada guru tidak memerlukan perayaan mewah atau hadiah mahal. Yang diperlukan hanyalah ketulusan hati untuk menghormati peran mereka. Karena sejatinya, guru adalah pilar peradaban bangsa, dan dedikasi mereka tidak ternilai harganya.
Terima kasih, para guru. Dunia ini berutang banyak pada ketulusan dan perjuangan Anda. Selamat Hari Guru, setiap hari adalah milik Anda.
________________
*) Penulis adalah Kepala SD Muhammadiyah 1 Bangkalan dan pengurus Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiah (PDNA) Kabupaten Bangkalan