MAKLUMAT — Penolakan terhadap rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% mencatat rekor baru. Kampanye yang digagas oleh kelompok Bareng Warga melalui media sosial X dengan tagar #PajakMencekik dan #TolakKenaikanPPN berhasil mengumpulkan 3.153 tanda tangan dalam sehari, Rabu (27/11).
Dukungan tersebut dihimpun melalui situs Change.id. Sejak dimulai 19 November 2024, gerakan untuk mempetisi Presiden Prabowo Subianto, total telah mengumpulkan total 14.149 tanda tangan.
Kenaikan PPN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan rencananya akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022.
Rencana kenaikan pajak ini memunculkan kekhawatiran masyarakat. Kenaikan PPN dinilai dapat memperburuk beban ekonomi, mengingat sejumlah harga kebutuhan pokok seperti sabun mandi dan bahan bakar minyak (BBM) diprediksi akan ikut melonjak. Padahal, kondisi ekonomi masyarakat masih jauh dari stabil.
Ekonomi Belum Pulih Sepenuhnya
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguran terbuka pada Agustus 2024 masih mencapai 4,91 juta orang. Dari total 144,64 juta orang yang bekerja, sebanyak 57,94% atau 83,83 juta orang berada di sektor informal.
Sementara itu, rata-rata upah pekerja mengalami tekanan. Data BPS menunjukkan sejak 2020, rata-rata upah cenderung mendekati Upah Minimum Provinsi (UMP). Setelah sedikit membaik pada 2022, tren ini kembali turun pada 2023. Selisih antara rata-rata upah dan UMP pada tahun ini hanya Rp154.000.
Ketimpangan antara upah dan kebutuhan hidup semakin terlihat di wilayah seperti Jakarta. Berdasarkan catatan BPS pada 2022, biaya hidup di ibu kota mencapai Rp14 juta per bulan. Namun, UMP Jakarta pada 2024 hanya sebesar Rp5,06 juta. Kondisi ini diperparah oleh masih banyaknya pekerja yang menerima upah di bawah UMP.
Dampak pada Daya Beli
Dikutip dari laman Change.id, rencana kenaikan PPN dinilai dapat menurunkan daya beli masyarakat. Sejak Mei 2024, daya beli terus melemah, dan jika kenaikan pajak ini tetap diberlakukan, penurunan daya beli diperkirakan akan semakin drastis.
Melihat berbagai tantangan ini, banyak pihak mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan PPN yang telah diatur dalam UU HPP. Langkah ini dianggap penting untuk mencegah beban ekonomi masyarakat semakin berat, termasuk potensi meningkatnya tunggakan pinjaman online di tengah tekanan ekonomi.
Hampir Pasti Diundur
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa penolakan terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% terjadi karena masyarakat belum mengetahui rencana pemerintah untuk memberikan stimulus.
Menurut Luhut, stimulus tersebut ditujukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak kenaikan PPN dan masih menunggu pembahasan lebih lanjut dengan Presiden Prabowo Subianto.
“Ini karena masyarakat belum tahu soal rencana stimulus. Nanti akan dirapatkan dulu, kemudian Presiden yang akan mengambil keputusan. Prosesnya masih berjalan,” ujar Luhut saat ditemui wartawan di TPS 004, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024).
Luhut juga mengungkapkan bahwa kenaikan PPN kemungkinan besar akan ditunda. Pemerintah masih memfinalisasi mekanisme bantuan sosial yang dirancang untuk meringankan beban masyarakat akibat kebijakan tersebut.
“Hampir bisa dipastikan kebijakan ini akan diundur. Kami ingin memastikan stimulusnya berjalan lebih dulu. Jadi, tunggu sampai semuanya siap,” jelas Luhut.