MAKLUMAT — Ada sebuah genre di dunia hiburan yang tengah berkembang di Indonesia, di mana humor menjadi sarana untuk mengkritik sekaligus menghibur. Dunia yang disebut “roasting” ini memadukan unsur kecerdasan, kelucuan, dan ketajaman dalam menggali keburukan atau kekurangan orang lain.
Kiky Saputri, dengan julukan “Queen of Roasting Indonesia“, adalah salah satu komedian yang paling dikenal karena kemampuannya mengolok-olok tokoh publik. Bagi sebagian besar masyarakat, roasting adalah sebuah hiburan yang segar dan penuh tawa, meski kadang disertai kontroversi.
Namun, ada kalanya humor yang digunakan dalam roasting berisiko melukai perasaan. Ini seperti yang terjadi pada Gus Miftah, seorang pendakwah yang juga dikenal karena keberaniannya dalam mengungkapkan pendapat.
Dalam sebuah acara pada akhir November 2024, Gus Miftah membuat lelucon tentang seorang pedagang es teh bernama Sunhaji yang tiba-tiba viral. Dari podium tempatnya duduk, Gus Miftah dengan lancar mengucapkan kalimat yang tidak hanya menggelikan bagi sebagian orang, tetapi juga menyakitkan bagi yang menjadi sasaran.
“Es tehmu masih banyak nggak? Masih? Ya sana dijual, gob***!” begitu katanya dengan tawa riuh penonton yang mengikuti.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah pelajaran penting tentang etika berbicara dan batasan humor. Gus Miftah, yang memiliki reputasi sebagai figur agama yang dihormati, meminta maaf setelah leluconnya menyebar luas dan menuai kritik di media sosial.
Ia bahkan merasa perlu mundur dari posisinya sebagai Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto sebagai bentuk pertanggungjawaban. Seperti yang kita ketahui, humor kadang kala bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun niatnya adalah hiburan, dampak yang ditimbulkan tidak selalu sejalan dengan tujuan awal
Lalu muncul kembali sebuah video lain dari Gus Miftah yang dua tahun lalu diunggah di YouTube. Dalam video berlatar belakang panggung wayang kulit itu, ia mengolok-olok seorang seniman senior, Yati Pesek, dengan kalimat yang tak kalah pedas.
Tawa penonton yang terdengar di latar belakang tidak mampu menutupi rasa sakit hati yang diderita oleh Yati. Seniman tersebut, dalam sebuah unggahan video aktor Erick Estrada di Instagram, mengungkapkan betapa ia merasa terluka dengan candaan Gus Miftah.
Sambil menangis, Yati berkata bahwa ia merasa terhina dan tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Video tersebut, meski telah lama diunggah, kembali viral dan menambah panjang deretan kontroversi Gus Miftah.
Bagi kita yang menyaksikan kejadian-kejadian ini, ada sebuah pertanyaan mendalam yang perlu kita renungkan: Sejauh mana kita berani bertanggung jawab atas kata-kata yang kita ucapkan, terutama ketika kata-kata itu ditujukan untuk mengolok-olok atau mengejek orang lain?
Roasting, seperti yang kita ketahui, adalah sebuah seni dalam stand-up comedy yang menggunakan humor untuk menyerang kekurangan atau kelemahan orang lain. Namun, dalam prosesnya, ada etika yang perlu dipegang teguh.
Salah satunya adalah memastikan bahwa orang yang menjadi sasaran roasting setuju dengan tindakan itu. Artinya, ada hak untuk memberi batasan terhadap komedian yang melontarkan candaan. Sebuah candaan yang, jika tidak disertai dengan izin atau persetujuan, bisa berujung pada penyesalan yang mendalam.
Berkaca dari kisah Gus Miftah ittu, kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah kisah klasik tentang seorang anak dan ayahnya yang berbicara tentang “sekantong paku.” Dalam cerita ini, sang ayah memberi nasihat kepada anaknya untuk menancapkan paku ke pagar setiap kali ia marah.
Setiap kali marah, anak itu selalu menancapkan paku. Dia pukul paku-paku hingga masuk ke dalam kayu. Tak terasa, sekantong paku telah habis digunakan. Artinya sudah berpuluh-puluh kali sang anak marah.
Sang anak kemudian diminta oleh ayahnnya untuk mencabut paku-paku tersebut. Meskipun paku-paku itu dicabut, anak itu baru menyadari bahwa pagar tersebut tetap memiliki bekas lubang yang tidak bisa hilang.
Begitulah kata-kata kita. Seberapa pun kita mencabutt paku untuk meminta maaf, kata-kata yang terucap akan meninggalkan bekas yang sulit dihapus. Luka yang ditinggalkan oleh kata-kata bisa setajam luka fisik, meninggalkan luka dalam jiwa.
Hikmah yang bisa diambil dari cerita ini adalah bahwa amarah dan kata-kata yang dilontarkan tanpa pertimbangan bisa berakibat buruk. Tidak hanya bagi orang yang dihina, tetapi juga bagi diri kita sendiri.
Terkadang, kita merasa puas setelah mengucapkan sesuatu yang tajam, namun setelahnya, kita menanggung penyesalan. Bukankah lebih baik kita belajar untuk mengendalikan amarah, dan memahami bahwa tidak semua yang lucu bisa diterima oleh semua orang?
Roasting sejatinya adalah sebuah bentuk seni yang harus dilakukan dengan hati-hati. Ini adalah sebuah pengingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa. Dan seperti halnya paku yang tertancap di pagar, kata-kata yang kita ucapkan bisa meninggalkan bekas yang sulit terhapus, meski sudah meminta maaf sekalipun.
Dalam candaan, ada hati yang harus dijaga. Jangan sampai, demi tawa sesaat, kita meninggalkan luka yang tak terlihat, namun abadi.
*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi Maklumat.ID