Ruang Berpikir Pasca Generasi Z

Ruang Berpikir Pasca Generasi Z

MAKLUMAT — Seperti dikhawatirkan Hannah Arendt—seorang filsuf dan sejarawan Jerman-Amerika—modernitas telah menggeser vita contemplativa (kehidupan kontemplatif) demi vita activa (kehidupan aktif dan produktif).

Generasi tua baby boomers sampai generasi X kelahiran 1965-1980 masih memiliki ruang untuk refleksi spiritual berbasis pengalaman langsung dan tradisi, karena jaman sejak kanak-kanak hingga dewasa teknologi masih terbatas. Bagi Gen Y kelahiran 1980-1996, sejak 1989 komputer mulai masuk kehidupan masyarakat pada tingkat yang paling awal/sederhana, dan internet mungkin masih belum masuk dalam kehidupan masyarakat sehingga mereka masih berkesempatan menikmati kehidupan kontemplatif walau makin terbatas.

Kalau internet mulai intensif di masyarakat sejak 2005, maka mulai Gen Z  (kelahiran 1997-2012), paling tidak separuh Gen Z terakhir, sejak anak-anak mulai akrab dengan komputer dan internet. Terlebih Gen Alpha (A) dan Beta (B) di mana teknologi makin canggih, digitalisasi, AI dan machine learning sudah mempengaruhi kehidupan mereka sejak masih kanak-kanak, diawali sebagai mainan sehari-hari.

Ir. Hadi Prasetyo. (Foto: IST)
Ir. Hadi Prasetyo. (Foto: IST)

Bagi Gen Z paruh akhir, Gen Alpha, Gen Beta yang baru mulai saat ini dan generasi-generasi selanjutnya, bisa dibayangkan bagaimana intensifnya mereka hidup di dunia digital yang serba instan dan terfragmentasi. Para orang tua makin kewalahan mendidik anak-anak, dan makin sulit mengontrol pemakaian gadget canggih pagi hingga larut malam, yang justru menjadi pusat keasyikan anak-anak Gen Alpha-Beta. Mungkin bukan hanya sekedar asyik, tetapi ada pembelajaran ‘otodidak’ bahkan kemampuan pengenalan bahasa asing melalui aplikasi game.

Ruang berpikir kognitif yaitu sebagai platform proses mental yang melibatkan berbagai fungsi otak untuk memahami, memproses, dan menanggapi informasi, serta mengandung  berbagai keterampilan seperti perhatian, memori, pemahaman, dan pemikiran kritis, telah membantu anak-anak mengubah informasi menjadi pengetahuan, dan makin mewarnai ‘kecerdasan’ dan ‘kekritisan’ generasi Alpha-Beta dan selanjutnya.

Ancaman Bagi Generasi Muda

Yang kemudian menjadi menarik dan mungkin juga keprihatinan banyak orang tua, adalah bagaimana anak-anak Gen A-B ini memahami kehidupan yang baik, seimbang dan mungkin bijak, ketika ruang berpikir yang berkembang eksponensial tersebut makin menyingkirkan, menggerus bahkan meniadakan ruang batin, hingga bagi keluarga beragama ini sangat serius karena makin mengabaikan kebutuhan dan nilai spiritual terhadap yang Maha Transenden, Sang Sumber Kehidupan.

Baca Juga  Viral Minuman Pororo, Jadikan sebagai Alarm Sadar Halal dan Audit Berbasis Sains

Norma kehidupan yang terbangun sebagai bentuk persepsi  oleh anak Gen A-B, adalah norma yang sangat dipengaruhi dialog antara dirinya dengan informasi digital dari ruang elektronik, membingungkan, dan dalam banyak hal menjadi dorongan  ‘liar’.

Maka dalam kehidupan modern yang sarat teknologi, informasi digital dan berbagai imaginasi utopis yang disodorkan oleh artificial intelligence (AI) dan machine learning (ML), ruang kontemplasi makin hilang, anak-anak Gen A-B hampir tidak punya pengalaman pahit-manis kehidupan, juga pengalaman pembelajaran faktual tentang situasi  betapa dunia ini fana dan hidup itu sungguh memerlukan ketergantungan terhadap Yang Maha Transenden Sang Sumber Kehidupan.

Yang terjadi kemudian adalah kekosongan kebijaksanaan yang tanpa kontemplasi, dan pembentukan ‘kebijakan kognitif’ (seperti integrasi pengetahuan, norma, dan spiritualitas) menjadi terancam.

Banjir informasi tanpa ruang refleksi menghasilkan pengetahuan dangkal (parrot intelligence) dan  tanpa internalisasi nilai. Kontemplasi adalah ruang memahami kompleksitas manusia. Tanpanya, norma jadi rigid atau relatif tanpa dasar dan kehilangan emosi empati.

Spiritualitas tersubstitusi oleh “spiritualitas digital” (self-help instan, mindfulness commercial), sehingga  sering menggantikan pencarian makna mendalam.

Memelihara ‘Ruang Kebijaksanaan’

Untuk menumbuhkan dan memelihara  ‘ruang kebijaksanaan’ bagi generasi muda , diperlukan perubahan paradigma pendidikan.

Mungkin diperlukan kurikulum filsafat praktis dengan memasukkan etika aplikatif (bukan hafalan teori) lewat studi kasus, misal “apa yang harus dilakukan AI jika menabrak pejalan kaki?”

Pendidikan sejarah kontekstual mungkin diperlukan tetapi bukan sekadar kronologi, melainkan  ‘refleksi’. Misal diskusi tentang “mengapa Nazi bisa terjadi? Apa tanda-tandanya di media sosial hari ini?”

Seperti pendidikan militer di barak-barak, mungkin perlu ‘digital detox terstruktur’ di mana sekolah dan kampus  mewajibkan “hari tanpa gawai” dan diganti dengan aktivitas refleksi.

Mendesain Ulang Lingkungan Digital

Pengembangan teknologi perlu didorong pada teknologi pro-kontemplasi. Misal  aplikasi dengan fitur “pause for reflection” sebelum membagikan konten, atau ada tahap dimana AI yang mengajukan pertanyaan filosofis.

Mungkin perlu membangun komunitas online bermakna, berupa forum diskusi (misal platform seperti ‘Socrates Café’ virtual untuk dialog mendalam, bukan debat. ‘Socrates Cafe‘ virtual adalah format diskusi terbuka yang terinspirasi dari metode filsafat Socrates, yang mendorong peserta untuk berpartisipasi aktif dalam percakapan filosofis tentang berbagai topik, menggunakan pertanyaan untuk menggali pemikiran dan pemahaman. Format ini menggunakan teknologi internet sehingga memungkinkan orang dari berbagai lokasi geografis untuk berpartisipasi dalam diskusi yang mendalam dan reflektif.

Baca Juga  Panduan Bijak Bermedia Sosial: Hindari Jerat Menuju Neraka Jahanam

Mungkin bisa mencontoh di Spanyol yang mengembangkan seni digital interaktif sebagai bentuk karya seni AR/VR yang dirancang memicu pertanyaan eksistensial, yaitu proyek “The Machine to Be Another“.

Proyek ini adalah sebuah proyek seni/riset kolaboratif interdisipliner yang menggabungkan seni pertunjukan, teknologi (terutama VR), neurosains, dan psikologi. Tujuannya adalah mengeksplorasi empati, identitas, dan persepsi diri yang memungkinkan peserta merasakan pengalaman “berada di tubuh orang lain”. Proyek ini dikembangkan oleh: BeAnotherLab, Barcelona), dimulai sekitar tahun 2012 dan terus berkembang.

The Machine to Be Another‘ adalah eksperimen sosial-teknologis yang ambisius yang menggunakan VR dan sinkronisasi tubuh untuk menciptakan pengalaman “bertukar tubuh”. Tujuannya untuk mendorong refleksi mendalam tentang siapa kita, bagaimana kita memahami orang lain, dan bagaimana kita bisa terhubung lebih dalam dengan pengalaman manusia yang beragam.

Membangun Ritual Kontemporer

Generasi muda Gen A-B yang akrab dengan teknologi, bisa dibuatkan “micro-contemplation” semacam ritual singkat yang feasible di era digital, misal selalu diluangkan waktu 3 menit menulis jurnal pagi sebelum membuka media sosial.

Bisa juga dibuat ritual singkat ‘analog challenge’ di mana ada satu hari dalam seminggu menyelesaikan masalah tanpa bantuan digital.

Program pertukaran cerita struktural (intergenerational dialogue) misal kelompok kakek-nenek bercerita tentang kegagalan hidup, dan Gen A-B berbagi tekanan algoritma sosial media.

Pendidikan outdoor berupa wisata ketidakefisienan, dimana generasi muda didorong untuk belajar menikmati “pengalaman lambat” dalam gaya hidup (pertanian urban, kerajinan tangan) sebagai bentuk meditasi aktif.

Peran Institusi Sosial

Untuk mendorong generasi muda A-B dst terbangun ruang kontemplatifnya diperlukan pengembangan peran institusi sosial. Misal perpustakaan bukan sekedar tempat pinjam dan baca buku, tetapi ditambah peran sebagai ruang kontemplasi, slow reading dan diskusi filsafat.

Baca Juga  Kampanye Digital, Pengaburan Substansi Memilih Pemimpin

Perusahaan-perusahaan bisa memasukkan ‘reflection time’ dalam jam kerja dan program mentoring berbasis kebijaksanaan hidup.

Bagi para perencana kota, mungkin bisa mengembangkan ide kebijakan kota berbasis ruang sunyi berupa desain taman kota dengan zona ‘no phone‘, ruang publik untuk duduk diam (seperti konsep Jardin de la Méditation di Paris).

Jardin de la Méditation‘ mewakili desain taman urban di Paris yang memprioritaskan ketenangan, kontemplasi, dan koneksi dengan alam secara sederhana. Meskipun bukan nama resmi satu taman spesifik (kecuali mungkin area khusus di Parc Martin Luther King), filosofi ini terwujud di berbagai sudut taman Paris, tujuannya adalah menjadi oase kedamaian di jantung kehidupan kota yang sibuk.

Generasi Alpha-Beta Harapan Bangsa

Generasi ini bukan beban, mereka mempunyai kemampuan pattern recognition tinggi (karena terbiasa data kompleks) yang bisa diarahkan untuk membaca pola manusiawi.

Menurut riset neurotheology, otak generasi digital tetap bisa mengalami transendensi lewat seni digital-imersif. Dalam dunia AI, kebijaksanaan manusialah yang menjadi pembeda utama. Ini bisa jadi motivasi intrinsik.

Sebagai penutup, melihat perkembangan kehidupan peradaban modern yang sedang akan diisi Gen Alpha dan Beta dst, masyarakat orangtua masih pasif, apatis dan justru menyerahkan perkembangan hidaup generasi muda dalam tangan pendidikan teknologi digital khususnya artificial intelligence, kita sungguh perlu khawatir sejalan dengan makin memudar dan musnahnya ruang kontemplasi batin.

Generasi baru mungkin tidak kontemplatif di dalam bangunan keagamaan, tetapi mungkin mereka akan menemukan ‘keheningan’ dalam labirin kode, atau kebijaksanaan dalam kolaborasi manusia-AI. Tugas kitalah  para sesepuh, orang tua dan senior untuk memastikan bahwa transformasi itu tetap manusiawi. Semoga!

*) Penulis: Ir. Hadi Prasetyo
Pengamat Sosial Politik; Mantan Kepala Bappeprov Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *