RUU KUHAP Dinilai Ancam Keadilan dan HAM, Fordek FH PTM Se-Indonesia Desak Peninjauan Ulang

RUU KUHAP Dinilai Ancam Keadilan dan HAM, Fordek FH PTM Se-Indonesia Desak Peninjauan Ulang

MAKLUMAT — Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) Se-Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam dan mendesak peninjauan ulang terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Meskipun mengapresiasi penyelesaian Daftar Inventaris Masalah (DIM) oleh Pemerintah, Fordek FH PTM Se-Indonesia menyoroti sejumlah poin krusial dalam draf RUU KUHAP 03 Maret 2025 yang dinilai berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip dasar keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang sejati.

Melalui siaran persnya, Fordek FH PTM Se-Indonesia mengecam keras proses pembahasan RUU KUHAP yang terkesan terburu-buru dan minim transparansi. Pembahasan 1.676 DIM dalam waktu dua hari (9-10 Juli 2025) menunjukkan kurangnya kedalaman analisis.

Fordek FH PTM menilai munculnya draf RUU KUHAP pada awal Februari 2025 tanpa kejelasan asal-usul, serta pengakuan akademisi yang merasa hanya dijadikan “pajangan”, semakin memperkuat dugaan adanya proses yang tidak transparan dan akuntabel. Proses semacam ini dikhawatirkan akan menghasilkan produk hukum yang cacat legitimasi.

Kemudian, Fordek FH PTM Se-Indonesia menyoroti beberapa ketentuan yang berpotensi melegitimasi praktik penyiksaan, kekerasan, dan penyalahgunaan wewenang yang ditandai dengan:

  1. Masa Penangkapan yang Tidak Sesuai Standar HAM: RUU KUHAP berpotensi melegitimasi masa penangkapan hingga 7 hari, jauh melampaui standar HAM internasional 48 jam, membuka ruang bagi penyiksaan dan kekerasan. Pasal 90 RUU KUHAP yang mengatur penangkapan 1×24 jam dan dalam hal tertentu 2×24 jam masih perlu ditinjau ulang.
  2. Penghapusan Ketentuan Pembatalan Penetapan Tersangka Akibat Kekerasan: Penghapusan ketentuan ini (Pasal 85 ayat (6) RUU) menghilangkan disinsentif bagi aparat penegak hukum untuk tidak melakukan kekerasan.
  3. Alasan Penahanan yang Terlalu Luas dan Subyektif: Ketentuan Pasal 93 ayat (5) huruf b dan d yang memperluas alasan penahanan karena “menghambat proses pemeriksaan” dan “memberikan informasi tidak sesuai fakta” sangat subyektif dan melanggar hak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan diri sendiri (hak diam).
  4. Penghapusan Izin Penahanan oleh Pengadilan: Penghapusan ketentuan izin penahanan oleh pengadilan (Pasal 93) menghilangkan mekanisme kontrol yang memadai oleh lembaga pengadilan yang independen dan imparsial, yang sangat penting untuk mencegah penyiksaan.
  5. Penetapan Saksi Mahkota Tanpa Jaminan: Penetapan saksi mahkota oleh penyidik tanpa jaminan berbasis kesepakatan dan tanpa paksaan (Pasal 22 ayat (2) dan (3) jo. Pasal 7 ayat (1) huruf l) sangat minim akuntabilitas dan membuka ruang transaksional.
  6. Pengakuan Bersalah di Tingkat Penyidikan Tanpa Kontrol: Pengaturan pengakuan bersalah di tingkat penyidikan tanpa standar check and balances yang memadai (Pasal 22 ayat (4) dan (5) jo. Pasal 7 ayat (1) huruf m) sangat rentan penyalahgunaan dan tekanan.
Baca Juga  Unggul di Survei Anak Muda, Kawan Gibran: Karena Simbol Regenerasi

Selain itu, Fordek FH PTM Se-Indonesia menyoroti kelemahan dalam akuntabilitas dan check and balances yang tercermin dalam beberapa pasal dalam RUU KUHAP:

  1. Penggeledahan dan Pemblokiran Tanpa Izin Pengadilan dalam Situasi Mendesak Subyektif: Ketentuan dalam Pasal 106 ayat (5) dan Pasal 132A ayat (5) yang menyerahkan penilaian “situasi mendesak” kepada penyidik berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang.
  2. Obyek Pemblokiran yang Belum Diatur: Ketiadaan pengaturan mengenai kategori obyek pemblokiran menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi kesewenang-wenangan aparat.
  3. Pengambilan Sampel Tubuh Tanpa Izin Pengadilan: Pengaturan pengambilan sampel tubuh/informasi biologis yang tidak mensyaratkan izin pengadilan bertentangan dengan prinsip check and balances dan perlindungan HAM.
  4. Penyadapan dan Teknik Investigasi Khusus Tanpa Kontrol Pengadilan: Penyadapan dan teknik investigasi khusus yang dapat dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang bersifat subyektif (Pasal 124, Pasal 16 ayat (1) huruf f dan g) sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan melemahkan kontrol pengadilan.
  5. Putusan Praperadilan: Forum Dekan FH PTM Se-Indonesia menegaskan bahwa putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi, mengingat ketentuan ini telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.
  6. Penahanan Wajib bagi Terdakwa yang Dipidana: RUU KUHAP perlu menegaskan bahwa setiap putusan hakim yang menyatakan terdakwa dipidana maka terhadap terdakwa wajib dilakukan penahanan apabila sebelumnya tidak dilakukan penahanan.
  7. Peninjauan Kembali Hanya Hak Terpidana: Peninjauan Kembali harus ditegaskan hanya merupakan hak dari terpidana, sehingga penuntut umum tidak diizinkan mengajukan peninjauan kembali.
Baca Juga  Menteri HAM Natalius Pigai Minta Anggaran Rp20 T, Yasonna Laoly Minta Realistis

Lebih lanjut, Fordek FH PTM Se-Indonesia juga menekankan pentingnya RUU KUHAP untuk lebih berorientasi pada saksi dan korban, tidak hanya tersangka dan terdakwa. Hal ini mencakup:

  • Pernyataan Dampak Kejahatan Korban (Victim Impact Statement/VIS): Perlu penambahan pasal tentang VIS untuk memastikan hak korban berpartisipasi aktif dalam proses peradilan dan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara.
  • Hak Korban atas Kompensasi: Perlu dikembangkan pengaturan kompensasi kepada korban tindak pidana melalui dana abadi dalam bentuk dana bantuan korban (Victim Trust Fund), di samping restitusi.
  • Pengaturan Saksi Pelaku (Justice Collaborator/JC): Pengaturan JC dalam RUU KUHAP dipandang penting untuk mengungkap kejahatan serius atau terorganisir, serta untuk mendorong lebih banyak orang berani menjadi JC.
  • Penyelidikan: Pengaturan terkait penyelidikan tetap perlu diatur dan setiap tindakan penyelidikan dapat diajukan pengujiannya dalam praperadilan, seperti kasus Siyono.

Berdasarkan fakta-fakta yang ada, Forfek FH PTM Se-Indonesia menyatakan:

Pertama, mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU KUHAP secara partisipatif, menjunjung tinggi prinsip keadilan substantif, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan penghormatan terhadap HAM.

Kedua, pembaruan RUU KUHAP harus menjawab persoalan mendasar dalam praktik peradilan pidana Indonesia yang selama ini rentan mengabaikan prinsip due process of law dan presumption of innocence.

Ketiga, mendorong seluruh warga negara, pemerhati hukum, korban dan penyintas kejahatan dan pelanggaran aparat penegak hukum, akademisi, dan gerakan masyarakat sipil untuk secara cepat dan seksama memperhatikan dan terlibat aktif dalam pembahasan RKUHAP ini.

Baca Juga  Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah Tekankan Inovasi dan Transformasi PTMA

Sekretaris Umum Fordek FH PTM Se-Indonesia, Satria Unggul Wicaksana Prakasa SH MH, mengatakan bahwa
Undang-undang ini akan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk bagi kebebasan berekspresi masyarakat secara luas dan ancam demokrasi serta HAM.

“Kami percaya bahwa reformasi KUHAP sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada dalam KUHAP 1981, yang telah terbukti membuka peluang kesewenang-wenangan aparat, bertentangan dengan UUD NRI, tidak sesuai dengan ketentuan HAM internasional yang telah diratifikasi, dan tertinggal dari perkembangan hukum terkini,” ujar Satria.

“Namun, reformasi ini harus dilakukan dengan proses yang benar, substantif, dan partisipatif, bukan dengan pembahasan kilat yang mengorbankan prinsip-prinsip fundamental hukum dan hak asasi manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat menghasilkan KUHAP yang benar-benar berkeadilan dan melindungi hak- hak setiap warga negara,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *