23.3 C
Malang
Sabtu, Maret 22, 2025
KilasRUU TNI dan Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045

RUU TNI dan Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045

RUU TNI
Ilustrasi TNI berjuang bersama rakyat. Foto:ChatGPT

MAKLUMAT — Di tengah derasnya arus perubahan global, Indonesia tengah menapaki jalan menuju Indonesia Emas 2045—sebuah visi besar yang bukan sekadar slogan, melainkan sebuah keharusan sejarah. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita cukup tangguh untuk sampai ke sana?

RUU TNI
Penulis: Antonius Widiyo Utomo SH. MHum.*

Pembangunan nasional yang ambisius ini tidak bisa hanya bertumpu pada sektor ekonomi dan infrastruktur semata. Stabilitas dan keamanan adalah fondasi utama yang akan menentukan keberhasilan kita.

Di sinilah peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi krusial. Pengesahan revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) baru-baru ini bukan sekadar reformasi struktural, tetapi sebuah langkah strategis untuk memastikan negara ini memiliki pertahanan yang kokoh dalam menghadapi tantangan masa depan.

TNI di Pusaran Geopolitik dan Ancaman Baru

Mari kita jujur. Dunia saat ini semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. Perang terbuka bukan lagi satu-satunya ancaman bagi sebuah negara. Kita berhadapan dengan perang siber, infiltrasi ekonomi, sabotase infrastruktur, hingga ancaman separatisme yang bertransformasi dalam bentuk yang lebih modern.

Di Laut Natuna Utara, misalnya, kapal-kapal asing semakin agresif memasuki wilayah Indonesia. Keamanan maritim kita bukan hanya soal menjaga kedaulatan, tetapi juga mempertahankan sumber daya ekonomi yang menjadi hak rakyat. Tanpa postur pertahanan yang adaptif, Indonesia akan terus menjadi sasaran empuk bagi kekuatan asing yang ingin mencuri dan menggerogoti kedaulatan kita.

Lalu, lihatlah dunia digital. Serangan siber bukan lagi skenario film fiksi ilmiah; ini nyata, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan. Data pribadi, sistem keuangan, bahkan infrastruktur strategis kita bisa lumpuh dalam hitungan detik jika tidak ada mekanisme pertahanan yang kuat.

RUU TNI memberikan jawaban atas tantangan-tantangan ini. Dengan memperluas cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dari 14 menjadi 17 tugas, TNI kini lebih leluasa untuk mengawal kepentingan nasional, mulai dari keamanan maritim, penanggulangan bencana, hingga pertahanan siber.

Prajurit di Kementerian: Sinergi atau Ancaman Demokrasi?

Salah satu poin yang paling banyak menuai perdebatan dalam revisi UU ini adalah diperbolehkannya prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga negara tanpa harus pensiun. Kritik pun bermunculan—mulai dari kekhawatiran tentang militerisasi birokrasi hingga anggapan bahwa ini adalah kemunduran demokrasi.

Tapi mari kita lihat realitasnya. Negara-negara dengan pertahanan kuat seperti Amerika Serikat dan China telah lama menempatkan perwira militernya di berbagai lembaga sipil strategis. Ini bukan soal militerisme, melainkan soal optimalisasi sumber daya manusia terbaik yang dimiliki bangsa ini.

TNI bukan hanya pasukan bersenjata. Mereka adalah manajer krisis terbaik yang kita miliki, dengan disiplin tinggi, kemampuan berpikir strategis, serta pengalaman dalam menghadapi situasi darurat. Jika kita ingin birokrasi yang lebih tangguh, mengapa kita tidak memanfaatkan kompetensi mereka?

Bayangkan seorang jenderal dengan pengalaman di lapangan bertugas di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bayangkan seorang perwira intelijen yang memahami ancaman siber berada di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Ini bukan ancaman bagi demokrasi—ini adalah cara cerdas untuk memastikan negara ini dikelola oleh orang-orang yang benar-benar mengerti bagaimana menghadapi tantangan di dunia nyata.

Panjang Umur Pengabdian: Kebijakan Visioner atau Beban Negara?

Peningkatan usia pensiun perwira tinggi menjadi 60 dan 62 tahun juga menjadi perdebatan. Sebagian menganggap ini sebagai beban bagi regenerasi. Namun, mari kita renungkan: apakah masuk akal jika negara kehilangan sumber daya manusia yang telah ditempa selama puluhan tahun hanya karena aturan pensiun yang kaku?

Di dunia akademik, seorang profesor bisa tetap aktif mengajar hingga usia 70 tahun. Di sektor swasta, para eksekutif senior masih memimpin perusahaan di usia 60-an. Lalu mengapa kita harus membuang seorang jenderal atau laksamana yang memiliki segudang pengalaman hanya karena angka usia?

Dengan memperpanjang usia pensiun, Indonesia dapat mempertahankan pengalaman dan keahlian mereka lebih lama. Ini bukan soal memperlambat regenerasi, tetapi memastikan bahwa pengalaman tempur, wawasan geopolitik, dan kepemimpinan strategis tidak hilang begitu saja.

Menuju Indonesia Emas: Butuh Pasukan yang Siap Tempur

RUU TNI bukanlah sekadar perubahan administratif. Ini adalah fondasi bagi Indonesia yang lebih kuat. Jika kita serius ingin menjadi negara maju pada 2045, kita tidak bisa membangun ekonomi tanpa memastikan bahwa negara ini aman dari ancaman internal maupun eksternal.

Kita membutuhkan TNI yang lebih adaptif, lebih profesional, dan lebih terintegrasi dengan pemerintahan sipil. Kita membutuhkan pasukan yang siap mengawal seluruh gebrakan besar menuju Indonesia Emas. Dan yang lebih penting, kita membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa dunia telah berubah—dan kita harus berubah bersama dengannya.

RUU TNI adalah jawaban atas tantangan zaman. Dan jika kita benar-benar mencintai negeri ini, sudah saatnya kita memberikan dukungan penuh terhadap langkah ini. Sebab sejarah tidak menunggu mereka yang ragu-ragu. Sejarah hanya mencatat mereka yang berani mengambil keputusan besar.

Indonesia, bersiaplah. Masa depan sudah di depan mata.

*) Anggota LHKP PWM JAWA TIMUR
*) Relawan Suluh Peradaban Desa untuk Prabowo

Ads Banner

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer