Satu Akar, Tiga Takdir: Mengapa Bahasa Indonesia dan Malaysia Bersaudara Namun Sering Bertengkar?

Satu Akar, Tiga Takdir: Mengapa Bahasa Indonesia dan Malaysia Bersaudara Namun Sering Bertengkar?

MAKLUMAT — Dunia maya kembali riuh. Entah siapa yang memulai, netizen Indonesia dan Malaysia lagi-lagi saling lempar klaim budaya. Kali ini, mereka ribut soal bahasa. Saling ejek soal kata “kereta” yang berarti mobil, atau “pejabat” yang bermakna kantor. Sebuah drama klasik yang terus berulang di antara dua bangsa serumpun.

Namun, hawa panas penuh sentimen itu sama sekali tidak terasa di Jakarta, Selasa (28/10/2025). Di sebuah ruangan konferensi yang sejuk, para petinggi bahasa dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam justru duduk rukun. Mereka saling melempar senyum hangat. Jauh dari hingar-bingar media sosial, mereka hadir untuk satu tujuan mulia: merawat bahasa.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memang sedang menghelat Seminar Kebahasaan Antarbangsa. Ini adalah forum resmi Majelis Bahasa Brunei Darussalam–Indonesia–Malaysia (Mabbim).

Forum ini membuktikan satu hal: di level elite dan akademisi, “pertengkaran” itu tidak ada. Yang ada hanyalah semangat persaudaraan. Lalu, mengapa di level akar rumput, kita seolah hobi bertengkar?

Untuk menjawabnya, jarum jam perlu kita putar mundur. Jauh sebelum ada Indonesia, Malaysia, atau Brunei, kita semua berbagi akar yang sama. Rumpun bahasa Melayu. Kita adalah saudara kandung linguistik.

Traktat London

Takdir baru memisahkan kita pada 1824. Lewat Traktat London, dua penjajah—Inggris dan Belanda—membagi wilayah layaknya membelah kue. Wilayah di utara Selat Malaka (kini Malaysia) jatuh ke tangan Inggris. Wilayah di selatan (kini Indonesia) diambil Belanda.

Baca Juga  OJK Dorong Peran Generasi Muda di Era Pembiayaan Digital

Sejak saat itu, “takdir” bahasa kita mulai berbeda. Bahasa Melayu di Malaya menyerap banyak kosakata Inggris. Sementara di Hindia Belanda, bahasa Melayu Riau—yang kemudian diangkat menjadi Bahasa Indonesia—menyerap ribuan istilah Belanda dan Jawa.

Setelah merdeka, perbedaan itu semakin tajam. Indonesia menjadikan bahasa sebagai alat pemersatu bangsa yang terdiri dari ratusan suku. Malaysia menjadikan bahasanya sebagai simbol identitas etnis.

Perbedaan takdir inilah yang sering memicu “pertengkaran” di era modern. Kita lupa bahwa kita bersaudara. Kita hanya fokus pada perbedaan kecil yang lucu. Orang Indonesia tertawa saat orang Malaysia menyebut “bomba” untuk pemadam kebakaran.

Sebaliknya, orang Malaysia bingung saat orang Indonesia menyebut “percuma” untuk sesuatu yang sia-sia (di Malaysia, “percuma” berarti gratis). Ironis. Padahal, di level yang lebih tinggi, ketiga negara ini sadar betul pentingnya merawat akar yang sama. Itulah mengapa Mabbim ada. Forum di Jakarta kemarin menjadi bukti nyata.

Simbol Koordinasi Kebijakan

Mendikdasmen Abdul Mu’ti, dalam sambutannya, menyebut Mabbim adalah simbol koordinasi kebijakan. Dia menitipkan tiga pesan penting. “Bahasa adalah rumah kebangsaan, infrastruktur pengetahuan, dan jembatan persahabatan antarbangsa,” ujar Mu’ti dikutip dari keterangan tertulis.

Pesan ketiga itu menjadi kunci. Abdul Mu’ti sadar, “gempuran” global dan kemajuan teknologi bisa makin menjauhkan tiga saudara ini. Karena itu, perlu ada kerja sama yang tangguh. Mulai dari diplomasi publik hingga standardisasi istilah ilmu pengetahuan bersama.

Baca Juga  Wamen Fauzan Nilai Kampus Muhammadiyah-Aisyiyah Punya Posisi Strategis dalam Peta Pendidikan Nasional

Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, mengamini. Dia menyebut seminar ini momentum emas untuk mempererat persahabatan.

“Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu merupakan warisan agung,” tutur Hafidz. Menurutnya, di dunia yang terus berubah, kedua bahasa ini memegang peran strategis untuk memperkuat kerja sama regional. “Mari kita jadikan bahasa sebagai pembawa pesan perdamaian dan keadaban,” imbuhnya.

Semangat Menyatukan

Sikap hangat juga datang dari negara tetangga. Pemangku Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, Awang Suip bin Haji Abdul Wahab, menyebut Mabbim lahir dari semangat bersama. Semangat untuk menyatukan bahasa Melayu dan Indonesia sebagai bahasa ilmu dan jatidiri.

Begitu pula perwakilan Malaysia, Tuan Haji Mohd Salahuddin. Dia menegaskan Mabbim telah mempererat persaudaraan tiga wilayah. “Kita tidak hanya membicarakan bahasa sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai bahasa ilmu dan peradaban tinggi,” ujarnya.

Maka, biarlah netizen “bertengkar” di dunia maya. Drama-drama kecil itu mungkin tak akan pernah usai. Namun, di dunia nyata, para pakar bahasa dari tiga negara tetap bekerja dalam senyap. Mereka bertemu, berdiskusi, dan merumuskan standar baru. Mereka sibuk merawat satu akar yang sama.

Forum Mabbim 2025 di Jakarta membuktikan bahwa komitmen persaudaraan itu jauh lebih kuat daripada sekadar ejekan “kereta” dan “mobil”.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *