Sebut PSN Banyak Sengsarakan Rakyat, DPR Dinilai Abai dan Gagal Jalankan Fungsi

Sebut PSN Banyak Sengsarakan Rakyat, DPR Dinilai Abai dan Gagal Jalankan Fungsi

MAKLUMAT — Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menegaskan keberpihakan terhadap rakyat, serta penolakan terhadap sejumlah kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang dinilai banyak merugikan masyarakat.

Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, Muhammad Fitrah Yunus, menegaskan bahwa langkah Muhammadiyah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal-pasal bermasalah dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja—terutama terkait PSN—bukanlah tindakan yang bersifat reaksioner.

Menurut dia, pendampingan terhadap warga terdampak PSN, hingga pengajuan judicial review atas UU Cipta Kerja ke MK tersebut, merupakan wujud tanggung jawab moral maupun historis Muhammadiyah terhadap umat Islam dan masyarakat secara luas.

“Dari awal, tanggung jawab Muhammadiyah itu tidak hanya ke umat, tapi juga kepada masyarakat, bahkan dunia. Maka soal keadilan dalam proyek strategis nasional ini menjadi panggilan,” ujarnya saat Konferensi Pers bertajuk ‘Gerakan Rakyat Menggugat PSN: Suara dari Akar Rumput‘ di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (7/7/2025).

Fitrah menegaskan, Muhammadiyah tidak hanya hadir di ruang-ruang pengadilan melalui judicial review. Lebih dari itu, Muhammadiyah telah turun langsung ke lapangan, melakukan riset, serta mendampingi masyarakat yang terdampak proyek strategis nasional.

“Kami sangat miris. Hak-hak dasar masyarakat terabaikan. Keadilan menjadi hal langka. Muhammadiyah sudah terjun langsung ke Rempang, dan kami belum pernah tidak melihat ada kajian, AMDAL, atau perlindungan serius terhadap warga terdampak. Mungkin ada, tapi dokumen-dokumen itu kami sulit sekali mengaksesnya,” ujar Fitrah.

Baca Juga  Jelang Pelantikan Presiden dan Pilkada Picu Deflasi

Berdasarkan data Kemenko Bidang Perekonomian, hingga akhir 2024 tercatat ada sebanyak 244 proyek PSN, yang disebut oleh Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dengan istilah ‘Proyek Sengsara Nasional‘. Nilai total investasinya mencapai sekitar Rp6.480 triliun.

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto juga menetapkan 77 proyek PSN, terdiri dari 29 proyek baru dan 48 proyek lanjutan. Sebagian besar proyek tersebut bergerak di sektor transportasi, energi, kawasan industri, dan properti. Tercatat 35 proyek berasal dari sektor transportasi seperti pelabuhan, jalur kereta, dan bandara.

Namun, belum rampung sepenuhnya, PSN justru memunculkan sederet persoalan sosial, hukum, dan lingkungan hidup. Dua proyek yang paling kontroversial adalah PSN di Wadas, Rempang Eco-City di Kepulauan Riau dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di Jakarta Utara.

Di Rempang, pemerintah menargetkan pengembangan kawasan industri dan permukiman baru. Namun, warga adat Melayu Rempang yang telah menetap turun-temurun justru mengalami penggusuran paksa. Aparat keamanan bahkan militer ikut dikerahkan, bentrok terjadi, dan sejumlah warga mengalami luka-luka. Komnas HAM bahkan mencatat adanya potensi pelanggaran hak masyarakat adat dalam proyek ini.

Sementara itu, proyek PIK 2 yang sempat masuk daftar PSN dan kemudian dihapus dari Perpres RPJMN 2025–2045, tetap berjalan meski menyisakan banyak pertanyaan. Dugaan pelanggaran tata ruang, kerusakan ekosistem pesisir, hingga keterlibatan oligarki terus mencuat. Koalisi masyarakat sipil bahkan menyebut proyek ini sebagai simbol betonisasi yang mengorbankan hak warga atas lingkungan hidup yang sehat.

Baca Juga  Muhammadiyah, Teologi Al-Ma'un, dan Masyarakat Lingkar Tambang

Di berbagai daerah lain, PSN maupun proyek-proyek lain juga menuai gelombang penolakan. Di antaranya tambang di Sulawesi, bendungan di NTT, hingga kawasan industri di Papua. Mayoritas penolakan dilatarbelakangi persoalan pembebasan lahan yang tak adil, minimnya partisipasi warga, ancaman kerusakan lingkungan yang diabaikan, hingga perampasan hak ruang hidup yang layak.

Fitrah juga menyinggung kekecewaan Muhammadiyah atas sikap DPR yang dianggap gagal menjalankan fungsinya. “Kami sudah bolak-balik ke DPR bersama warga Rempang. Waktu rapat, mereka janji akan datang ke sana dan libatkan masyarakat. Tapi sampai sekarang, tak ada realisasinya,” ungkapnya.

Menurut Fitrah, DPR telah lalai dan abai dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan pelibatan publik. Alih-alih menjadi wakil rakyat, DPR dinilai hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. “DPR seharusnya menyuarakan rakyat, bukan sekadar mengikuti aturan tanpa rasa kemanusiaan,” tegasnya.

Situasi ini, menurutnya, mencerminkan krisis moral dan keberpihakan negara dalam tata kelola sumber daya alam dan pembangunan. Ia menyerukan perlunya pertobatan ekologis dari pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan.

“Kalau kata Pendeta kemarin waktu kita dialog itu, kita harus ada pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis bukan hanya untuk rakyat, tapi terutama untuk negara ini. Untuk pemimpinnya. Karena yang luka bukan cuma alam, tapi juga hati rakyat,” tandas Fitrah.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *